Puluhan tahun dari itu, sekiranya jika kita berkaca dari kasus First Travel, tetap relevan salah satu ciri khas manusia Indonesia dalam orasi tersebut: cenderung kurang sabar, tukang menggerutu, cepat dengki, tidak hemat, lebih suka tidak bekerja keras kecuali terpaksa.
Maka, betapa hedonistiknya suami-istri pemilik biro umrah berkasus, First Travel, hingga syak-prasangka uang jemaah jadi sumber biaya ikut pameran adibusana di banyak negara, kiranya terus menjadi trending topic khususnya pada warganet dan atau percakapan luring.
Tak habis kata kalimat laku bincang tadi, termasuk analisis tiada berkesudahan, sesungguhnya bisa menjadi perangkap kita semua; Min sharril was wasil khanna's, sebuah kejahatan bisikan (syaitan) yang biasa bersembunyi, sehingga kita lupa mereguk hikmah.
Tajassus (mencari-cari salah), gibah (bergunjing), dan namimah (mengadu domba) akhirnya menjadi bagian yang lebih sering muncul kini jika mendengar nama First Travel, seraya kita melupakan mengaitkannya dengan mengambil hikmah peristiwa (ibroh).
Baca: First Travel dan Skema Ponzi
Maka itu, pada momentum emas awal Dzulhijjah sekaligus mendekati prosesi puncak ibadah haji tahun ini, marilah kita bersama menangguk hikmah bijaksana dari kasus umrah tersebut dengan sedikitnya merancang tiga sikap.
Pertama, malu-lah mereka Muslim yang berkecukupan, sangat mampu membayar haji apalagi umrah, namun harta berkecukupan di tangannya itu hanya untuk dirinya sendiri dan keluarga demi mengejar ambisisi duniawi tak berkesudahan.
Banyaknya hingga puluhan ribu jemaah yang sudah membayar ke First Travel, bahkan untuk seluruh anggota keluarganya (sekalipun tak kunjung pergi), jelas mengisyaratkan pengorbanan dan tekad kuat beribadah di jalan-Nya tanpa satu anggota keluarga pun ketinggalan.
Dengan sifat dunia yang danaa (dekat), betul bahwa seluruhnya berproses serba cepat tak terasa. Yang tadinya segar bugar gagah, seperti banyak kita saksikan, tanpa terasa sudah setengah abad dengan raga fisik tak lagi kuat.
Pun, demikian pula titipan harta. Sebagai sebuah amanah, sifat danaa membuatnya bisa berlimpah terus meruah tiap detik dan atau malah sama sekali miskin tak bersisa tergantung bagaimana kita mengelola kepercayaan Allah SWT.
Baca: Modus First Travel, dari Umrah Murah hingga Minta Endorse Artis
Maka, seraplah spirit berlomba-lomba meng-umrah-kan keluarga First Travel tersebut, yaitu dengan memulai membuka tabungan haji bagi siapapun yang merasa telah berkecukupan seraya menekan seluruh keinginan duniawi yang melenakan.
Kedua, marilah kita pelihara spirit melakukan amal shaleh dan kebajikan namun di saat bersamaan, perkuatlah sikap wara' (berhati-hati/tidak tergesa-gesa), hadzar (mawas diri), dan mengutamakan aqli (akal).
Semua Muslim, bahkan yang fasiq sekalipun, umumnya memiliki hasrat berziarah ke Haramain. Siapa tak mau melihat makam Rasulullah, misalnya. Apalagi di Indonesia, setidaknya di lingkungan penulis, lebih banyak yang ta'at dibandingkan yang tidak/kadang-kadangnya.
Maka, di tengah deru impi menginjak Makkah-Madinah melalui umrah dan atau haji, dan gelombang minat ini kian hari kian bertambah, maka rasanya tak sesuai aqli jika kemudian ada yang menawarkan harga super miring.
Baca: Calon Jemaah Minta Jaminan Diberangkatkan Umrah oleh First Travel
Umpama ada yang menawarkan daging sapi murah meriah saat jelang Lebaran, sebetulnya di saat itulah sikap wara' dan hadzar kita lebih dikedepankan, sehingga tak mudah kaget dan cepat kagum dalam menghadapi realitas bombatis.
Ini perlu ditekankan karena sekiranya kita buka mata lebar, sebetulnya tak hanya First Travel. Nyaris di tiap provinsi ada saja yang berusaha melakukan modus serupa. Oleh karenanya, jangan sampai kejadian serupa berulang di daerah lainnya.
Dengan menanamkan ketidaktergesaan, juga mawas diri, maka tentu kita hanya ingin beribadah melalui mekanisme-jalur yang masuk akal, sistematis, aman, dan sesuai dengan apa yang diatur pihak berwenang.
Dengan pilihan mekanisme semacam itu sudah ada di sekeliling kita, yakni para perbankan syariah, maka sebetulnya tak ada barrier lagi dalam memulai membuka tabungan haji. Bahkan dengan saldo awal Rp 500.000, nama kita sudah terpatri sebagai amal shaleh.
Baca: Kemenag Persilahkan First Travel Ajukan Gugatan ke PTUN
Last but not least, jika yang lain begitu menggebu pergi ziarah maka pantulkanlah semangat tersebut agar kita sekuat ikhtiar dan sepenuh jiwa mengusahakan diri menjadi orang yang mampu, yakni dengan perencanaan optimal berbarengan dengan doa spartan.
Perencanaan sisi materi dan waktu adalah keniscayaan, kita sendiri yang paling tahu pengeluaran mana yang bisa ditekan juga dihilangkan. Sambil meneguhkan diri agar alokasi dana tabungan haji takkan pergi ke arus kas manapun dengan alasan apapun.
Secara simultan, sejak 'azzam dipancangkan, otomatis pula ikhtiar ditingkatkan berbarengan dengan aras doa tak henti-henti. Sebab, berdoa dan atau berikhtiar saja satu sisi maka akan lebih kental nuansa tidak menggenapkan ikhtiar.
Penulis merasakan sendiri sejak ber-'azzam pergi haji bersama istri tahun 2015 lalu, dan sungguh sudah lupa dari mana saja muncul rezeki tersebut, akhirnya awal 2017 telah lunas. Tak terkira secepat itu. Wayar zuqhu min haysu laa yahtasib.
Sungguh, kilasan peristiwa demi peristiwa penuh heboh bisa dan akan terjadi di negeri ini, tapi jangan jadilah kita yang beruntung karena mampu menuai hikmah. First Travel kiranya medium ibrah agar kita semua kian menggebu mengejar slot jemaah haji ke depan. Ayo!
https://nasional.kompas.com/read/2017/08/23/14420291/habis-cakap-first-travel-lupa-menabung-haji