Menurut Maqdir, ketentuan pidana korporasi yang diatur dalam Pasal 20 UU Tipikor tidak secara jelas mengatur mengenai ukuran keterlibatan korporasi.
Sementara, tidak semua bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pimpinan perusahaan bisa dijadikan dasar menerapkan pemidanaan terhadap korporasi.
"Kalau saya melihat Pasal 20 UU Tipikor menyebut korporasi bisa dipidana. Hanya saja masalahnya, keterlibatan perusahaan ini ukurannya apa. Tidak ada alat ukur untuk mengidentifikasinya," ujar Maqdir dalam diskusi "Awas, Perusahaan Bisa Jadi Tersangka Korupsi", di bilangan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Rabu (26/7/2017).
Maqdir menjelaskan, beberapa negara seperti Inggris, Amerika Serikat dan Belanda memasukkan unsur tindak pidana suap dalam ketentuan tindak pidana korporasi.
Selain itu ada juga yang memasukkan mengenai tindakan jual-beli pengaruh bila kasus yang ditangani melibatkan pejabat negara.
Oleh sebab itu dia menyarankan ada alat ukur yang jelas dalam UU Tipikor dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
"Saya kira ini waktunya pemerintah dalam hal ini termasuk MA dengan Perma itu, harus memberi syarat. Kalau tidak ada bagaimana melakukan identifikasi. Yang merugikan negara itu bagaimana?" ucapnya.
Pasal 20 Ayat (1) UU Tipikor menyatakan, dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penhatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
Sementara Pasal 20 Ayat (2) mengatakan, tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
https://nasional.kompas.com/read/2017/07/26/22245311/aturan-pidana-korupsi-korporasi-dinilai-belum-punya-ukuran-jelas