Salin Artikel

Ethnographic Journalism, Ketika Wartawan dan Ilmuwan Menjadi Satu Tubuh

Tema besar acara itu sungguh menarik: “Ethnography Meets Journalism: Evidence, Ethics and Trust”. Penyelenggaranya adalah Institute for Public Knowledge, sebuah lembaga penelitian di New York University.

Institute for Public Knowledge atau sering disingkat menjadi IPK, melihat gejala bahwa karya-karya jurnalistik dalam bentuk yang panjang dan mendalam (longform journalism) tidak serta merta lenyap ketika internet menjadi wabah.

Dengan kata lain, internet bukanlah habitat asli berita-berita yang serba cepat dan pendek. Longform journalism masih mendapat tempat di era new media saat ini. Kemudian, IPK juga melihat kecenderungan bahwa beberapa karya jurnalistik yang panjang dan mendalam itu dihasilkan melalui proses yang sering dipakai oleh para peneliti, khususnya ilmu-ilmu sosial.

Salah satunya adalah Etnografi. Melalui simposium tersebut, IPK mencoba mempertemukan jurnalisme dan etnografi. Apakah memang ada benang merah di antara keduanya?

Jika memang ada, apakah benang merah itu menjadi penghubung keduanya sehingga bisa saling melengkapi? Atau benang merah tersebut justru menjadi pembatas yang tidak boleh dilewati oleh masing-masing?

Newjack

Salah satu sesi di dalam simposium itu berjudul “Immersion in the Long-Form”. Peserta di dalam sesi ini membahas teknik “melebur” saat meliput atau memroduksi berbagai bentuk karya jurnalistik yang panjang dan mendalam.

Kalangan peneliti ilmu-ilmu sosial juga familiar dengan teknik tersebut. Mereka menyebutnya sebagai teknik observasi sebagai partisipan.

Artinya, si peneliti akan terjun langsung ke lokasi dan melebur (partisipatif) dengan situasi. Melebur bukan hanya menjadi pengamat, akan tetapi benar-benar menjadi bagian dari fenomena yang diteliti.

Jika ia meneliti gelandangan, maka ia akan menjadi gelandangan. Jika meneliti konglomerat, ia harus hidup dalam kemewahan. Beberapa pembicara tampil di dalam sesi itu, salah satunya adalah Ted Conover.

Ia adalah wartawan sekaligus penulis. Salah satu bukunya berjudul Newjack. Di kalangan jurnalis, Newjack adalah sebuah penanda bahwa jurnalisme bisa hadir dalam bentuk yang “renyah” sekaligus mendalam.

Newjack juga sangat naratif atau menggunakan bahasa bertutur. Pada saat yang sama, buku ini penuh dengan empati dan gambaran rinci.

Newjack adalah cerita di balik jeruji besi. Buku ini terbit setelah Ted Conover meliput selama satu tahun di Sing Sing, penjara yang super ketat dan brutal di New York, Amerika Serikat.

Perjalanan liputannya dimulai dengan mendaftarkan diri sebagai sipir di penjara tersebut. Dia ditolak beberapa kali. Namun, akhirnya ia diterima setelah melalui serangkaian proses seleksi.

Ia kemudian melenggang ke dalam penjara dengan menyandang dua status sekaligus, sebagai wartawan dan sipir. Conover menjalani statusnya sebagai sipir secara serius.

Pria yang juga dosen mata kuliah *Ethnography for Journalists* itu harus melalui proses pendidikan, serta menjalani tugas sebagai sipir sesuai perintah atasan.

Pada saat yang sama, ia mencatat dan mengingat segala yang dia temui di penjara. Sesekali dia mengabadikan hal tersebut dalam bentuk foto. Simak laporannya di sini.

Selama “melebur” di dalam penjara, Conover menemukan cerita tentang tahanan yang mengalami gangguan mental. Dia juga larut dalam cerita tentang pergolakan batin para sipir.

Ia kemudian mengalirkan semuanya di dalam Newjack yang ia sebut di dalam blognya sebagai gambaran tentang dunia yang tersembunyi serta konflik antara keharusan untuk mengisolasi manusia (termasuk sipir) dan cara-cara isolasi yang tidak manusiawi.

Menggugat jurnalisme

Sepintas, Newjack mirip dengan indepth reporting atau laporan mendalam. Ia juga sepertinya mirip dengan literary journalism karena gaya penulisannya yang sangat naratif dan bertutur.

Namun, beberapa kalangan termasuk Conover, menyebut Newjack adalah spesies baru di dalam jurnalisme. Salah satu hal yang membuatnya baru adalah pilihan metode meliput.

Anne Kristine Hermann dari University of Southern Denmark menyatakan bahwa Newjack adalah contoh ethnographic journalism. Genre ini menggabungkan semangat jurnalisme dengan metode penelitian etnografi.

Menurut Hermann, salah satu syarat utama etnografi adalah observasi sebagai partisipan. Dalam hal ini, jurnalis tidak hanya “mengamati”, namun harus “merasakan”.

Oleh karena itu, ia harus “menjadi” orang yang dia amati. Teknik “melebur” ini adalah awal dari rangkaian gugatan ethnographic journalism terhadap prinsip-prinsip jurnalisme pada umumnya.

Saya akan mulai dari yang pertama, yaitu gugatan terhadap obyektivitas. Jurnalisme pada umumnya menjadikan obyektivitas sebagai keunggulan.

Menurut paham ini, jurnalis harus memaparkan fakta yang dia peroleh, ia lihat, dan ia dengar secara apa adanya. Konsep ini diruntuhkan oleh metode “melebur” yang dimiliki oleh ethnographic journalism.

Observasi sebagai partisipan di dalam etnografi tidak bertujuan untuk melihat atau mendengar fakta, dan kemudian melaporkannya. Observasi sebagai partisipan bertujuan untuk merasakan dan memahami makna.

Sampai pada titik ini, “fakta obyektif” dalam jurnalisme pada umumnya, digantikan dengan “makna terdalam”.

Crammer dan David (2004), seperti dikutip oleh Hermann di dalam tulisannya, menjelaskan bahwa wartawan etnografi harus mencari “inner truth” dari kelompok tertentu melalui metode meleburkan diri bersama para informan, dan sekaligus menjadi seperti mereka.

Setelah menjadi “orang lain” selama melakukan observasi, seorang wartawan akan bisa merasakan dan menemukan kebenaran dari apa yang dialami oleh pihak yang dia liput.

Setelah itu, dia bisa memberitakan apa adanya, bukan hanya berdasarkan apa yang ia lihat dan dengar, namun juga berdasarkan apa yang ia rasakan. Di sinilah letak subyektivitas ethnographic journalism yang menggugat prinsip obyektivitas jurnalisme pada umumnya.

Gugatan terhadap obyektivitas ini membawa kita kepada gugatan kedua, yaitu gugatan terhadap sudut pemberitaan (angle). Pada umumnya, jurnalisme tidak pernah lepas dari sudut pemberitaan.

Bahkan, kadang kala, wartawan seperti sudah “membuat” berita sebelum ia berangkat meliput. Observasi dan wawancara “sekedar” menjadi cara untuk mengonfirmasi arah pemberitaan yang telah dirancang sebelumnya.

Etnografi menentang hal itu, demikian Hermann menulis di dalam artikelnya. Oleh karena itu, seorang wartawan yang mengadopsi metode etnografi tidak akan memiliki sudut berita apapun ketika berangkat meliput.

Ia mendatangi, mengamati, dan menjadi seperti narasumber karena ia benar-benar ingin tahu. Ketiadaan sudut pemberitaan itu akan dengan sendirinya menghilangkan sikap curiga (skeptis) yang menjadi ciri khas wartawan.

Ini adalah gugatan ketiga ethnographic journalism. Sebagai gantinya, sifat “skeptis” itu diganti dengan “empati”.

Artinya, seorang wartawan etnografi akan menemui narasumber tidak untuk mengonfirmasi kecurigaan atau sudut pemberitaan, melainkan untuk berempati dan merasakan. Kata kunci “empati” ini akan mengarahkan wartawan-wartawan etnografi kepada liputan-liputan yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Ketiga gugatan di atas (ketiadaan obyektivitas, sudut pemberitaan, dan skeptisisme) akan memunculkan gugatan keempat, yaitu jangka waktu liputan yang sangat lama.

Hal itu terlihat dari kisah Ted Conover yang memerlukan waktu hingga satu tahun untuk bisa benar-benar merasakan hidup sebagai seorang sipir penjara dan menemukan kebenaran di dalamnya.

Ethnographic journalism memang menawarkan sentuhan baru bagi para wartawan. Namun, yang namanya sentuhan tidak selalu menyenangkan.

Sentuhan kadang dianggap sebagai pelecehan. Tidak ada yang bisa menyalahkan jika kalangan jurnalis merasa terlecehkan oleh gugatan yang dibawa oleh ethnographic journalism.

Mereka yang percaya bahwa jurnalisme harus memiliki angle, bersifat obyektif, singkat, dan cepat, tentu akan menolak ethnographic journalism. Namun, pada saat yang sama, tidak ada yang juga bisa menyalahkan mereka yang mencoba memberikan kesempatan bagi genre baru di dalam jurnalisme ini.

Siapa tahu, ethnographic journalism adalah solusi untuk mengganti jurnalisme yang penuh kepentingan dan jurnalisme dangkal karena hanya menuruti rutinitas isu secara tergesa-gesa.

https://nasional.kompas.com/read/2016/08/13/13574881/ethnographic-journalism-ketika-wartawan-dan-ilmuwan-menjadi-satu-tubuh

Terkini Lainnya

Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Nasional
Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Nasional
Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Nasional
Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Nasional
Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Nasional
Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Nasional
Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Nasional
Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke