JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, selain mengadopsi pendekatan preventive justice, Rancangan UU Anti-terorisme yang baru juga seharusnya memasukkan pasal yang mengatur pengawasan terhadap eks terpidana kasus terorisme.
Alasannya, banyak pelaku teror adalah mereka yang "kambuhan" atau residivis.
Menurut Bonar, yang biasa disapa Choky, residivis kasus terorisme jumlahnya mencapai 10 persen dari terpidana terorisme.
"Meskipun jumlahnya 10 persen, tetapi itu penting karena mereka yang dicap teroris dan mendapatkan hukuman pidana dianggap hero (pahlawan) di mata jaringan," kata Choky, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (10/7/2017).
"Di mata jaringan dia dianggap punya pengaruh kuat. Dan biasanya jaringannya ingin kembali merekrut dia," lanjut dia.
Di Inggris dan Australia, kewenangan aparat untuk melakukan pengawasan terhadap mantan terpidana terorisme ini dikenal dengan istilah post-release monitoring.
Secara sederhana diartikan sebagai pengawasan terhadap seorang terpidana kasus terorisme yang menjalani bebas bersyarat atau sudah selesai masa hukumannya sebagai bagian dari deradikalisasi.
Choky mengatakan, salah satu cara deradikalisasi ini adalah dengan disengagement atau melepaskan diri dari lingkungan sosial yang selama ini menjadi ruang berinteraksi.
"Di Inggris dan Australia selama kurun waktu tertentu, satu-dua tahun, ada pengawasan intensif. Caranya macam-macam, tidak boleh punya laptop, akses internet, bahkan mungkin mobile phone," kata Choky.
Intinya, lanjut Choky, membuat relasi mantan terpidana terorisme dengan lingkungan sosial lamanya terputus.
Atau, bisa juga dengan cara ditempatkan di daerah yang berbeda dari awal interaksinya dengan kelompok teroris.
"Dalam RUU Anti-terorisme ini, aturan semacam ini belum dibuat. Harusnya ada pasal yang mengatur mantan teroris yang sudah menjalani masa hukuman atau bebas bersyarat, mendapatkan pengawasan," kata Choky.