JAKARTA, KOMPAS.com - SETARA Institute mendorong pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera menuntaskan pembahasan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ketua SETARA Institute Hendardi menyampaikan, RUU Anti-terorisme perlu segera dirampungkan guna memperkuat konsep preventive justice (keadilan preventif).
"Dan itu adalah cara negara mendukung pemberantasan terorisme secara lebih genuine," kata Hendardi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (10/7/2017).
Dia juga menyampaikan, Presiden RI Joko Widodo dan DPR sebagai otoritas legislasi juga harus memastikan bahwa fokus dari revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 itu ada pada penguatan kewenangan aparat untuk pencegahan.
"Kami mendukung, RUU ini memang mesti dipercepat. Tetapi, tentu saja dengan satu akuntabilitas yang bisa dipertanggungjawabkan," kata Hendardi.
Preventive justice
Dalam diskusi tersebut, Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos menyebut, sistem kriminal pidana atau criminal justice system sudah tidak sesuai lagi untuk pemberantasan terorisme.
Sebab, kelemahan dari sistem ini adalah sebuah tindak kriminal baru bisa dipidana jika perbuatan sudah terjadi. Dengan kata lain, aparat penegak hukum baru bertindak apabila sudah terjadi suatu perbuatan.
(Baca: Ditjen Imigrasi: 83 WNI Masuk DPO ISIS, 18 Orang Lainnya DPO Terorisme)
Hal ini menjadi perhatian banyak negara, karena perbuatan teror dengan kekerasan seringkali berujung pada jatuhnya korban.
Di Indonesia sendiri, kata Choky - sapaan Bonar, sudah banyak korban dari warga biasa dan aparat keamanan.
Atas dasar itulah, dalam RUU Anti-terosisme yang sedang digodok perlu pendekatan baru yaitu enhanced criminal justice system atau sistem kriminal pidana yang diperluas.
"Beberapa negara seperti Inggris dan Australia dalam Undang-undangnya mengadopsi pendekatan preventive justice," imbuh Choky.
(Baca: RUU Anti-terorisme, DPR dan Pemerintah Sepakat TNI Dilibatkan)
Salah satu bentuk kontroversial dari sistem ini adalah pre-trial detention atau penangkapan pra proses pengadilan, di mana aparat keamanan diberi kewenangan untuk menahan seseorang terduga teroris dalam kurun waktu tertentu, atau terhadap orang yang potensial melakukan kekerasan.