Awal Juli 2017 ini, gelayut mendung dunia jurnalistik Tanah Air terjadi kala biro daerah Koran Sindo ditutup setelah 11 tahun beroperasi per 29 Juni 2016. Terasa lebih mendung karena terjadi pada grup media besar dengan pengalaman bisnis media karatan plus pemilik modalnya kakap.
Gelayut juga lebih berasa karena hal tersebut menggenapi sejumlah penutupan total atau parsial sejumlah media cetak nasional maupun regional dari grup besar lainnya dalam dua tahun terakhir.
Contohnya edisi hari minggu Galamedia (koran regional grup Pikiran Rakyat), edisi hari minggu Koran Tempo (koran Tempo Media Group), Sinar Harapan, Jakarta Globe, Harian Bola, hingga majalah remaja legendaris dari grup sekaliber Kompas Gramedia Group (KKG) per 1 Juni 2017 lalu, HAI.
KKG, bahkan, pada Desember 2016 lebih dulu menutup edisi cetak delapan produknya (Kawanku, Sinyal, Chip, Chip Foto Video, What Hi Fi, Auto Expert, Car and Turning Guide, dan Motor) dikonvergensikan ke dalam cewekbanget.id dan grid.co.id.
Mengapa (penutupan) media cetak makin hari makin banyak? Apa yang sedang terjadi? Berapa lama napas tersisa dari media cetak umumnya dan koran khususnya?
(Baca juga Apakah Website Terlalu Usang Untuk Jurnalisme Digital?)
Ada sejumlah data yang bisa digunakan dalam membedah hal ini (secara sederhana). Pertama, konsultan bisnis PwC dalam laporan Perspective from the Global Entertaiment and Media Outlook 2017 menyebutkan, laju global pertumbuhan koran dalam lima tahun ke depan adalah minus 8,3 persen.
Ini angka terendah karena prediksi untuk media massa konvensional lainnya (majalah, radio, televisi, dan buku) juga mengalami pertumbuhan minus pada 3,4-6 persen saja. Di sisi lain, PwC memprediksi media berbasis internet tumbuh 0,5 sampai 6 persen (Harian Kompas, 4 Juli 2017).
Prediksi ini realistis karena menurut mereka, ini merujuk gerusan koran di Eropa dan Amerika yang terjun bebas. Sekalipun bagi koran seperti The Rocky Mountain di Amerika Serikat yang sudah terbit sejak 1859 terpaksa tutup pada 2009.
Kedua, data Serikat Perusahaan Pers (dh/Serikat Penerbit Surat Kabar/SPS) tahun 2013 menyebutkan, tahun 2002 jumlah penerbitan media cetak di Indonesia mencapai 2.003 baik koran harian maupun mingguan serta majalah dengan jumlah tiras atau keterjualan mencapai 17 juta eksemplar.
Akan tetapi, tahun 2004 menurun jadi 695 penerbitan dengan 16 juta ekslempar. Angin segar terjadi pada tahun 2006 (825 penerbitan dengan 18 juta ekslempar) dan tahun 2013 (1.254 penerbitan dengan 22,34 juta ekslempar).
Namun, dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN 2017) di Ambon, dilansir data tren penurunan selang empat tahun dari 2013 terjadi, yaitu 850 penerbitan dengan 17 juta eksemplar--dan ini diafirmasi dengan kuat melalui penutupan parsial atau total media cetak besar seperti Koran Sindo dan HAI.