Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Retrogresi Politik Kebangsaan

Kompas.com - 13/06/2017, 16:21 WIB

Oleh: Gun Gun Heryanto

Musim pancaroba politik belumlah sirna. Bahkan, situasi ketidakpastian dan ketidaknyamanan, kecenderungannya terus dikelola bahkan diteguhkan oleh beberapa kalangan hingga memuncak di perhelatan pertarungan politik 2019. Politik kebangsaan pun mendapatkan tantangan nyata.

Ragam corak keberbedaan mulai dari suku, agama, ras, antargolongan, ego kelompok, organisasi, dan kepentingan seharusnya luruh dalam semangat nasionalisme yang menjadi titik temu kekitaan. Pancaroba mesti diwaspadai karena biasanya rentan menghadirkan ragam jenis penyakit terutama saat "imunitas" politik kebangsaan kita melemah.  

Pola peneguhan

Fenomena kekinian menunjukkan gejala retrogresi, yakni pemburukan kualitas politik kebangsaan, akibat polarisasi dukungan politik yang menghadirkan kebencian antarpendukung. Contoh aktualnya adalah luka menganga yang tercipta di Pilkada DKI Jakarta, bahkan ada yang sudah lama terjangkit "penyakit" serupa sejak Pemilu Presiden 2014.

Mereka kerap menularkan virus kebencian satu pihak ke pihak lainnya, serta provokasi kepada banyak orang. Keberlimpahan informasi yang bersumber dari rumor, gosip, fitnah, ujaran kebencian, hoaks memapar kanal-kanal komunikasi warga, terutama dengan memasukkan isu berdaya ledak tinggi bernama suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Yang perlu diwaspadai adalah pola peneguhan (reinforcement) melalui rangsangan komunikasi bertahap yang dikelola sehingga berpotensi menjadi semacam pengondisian instrumental untuk membangun persepsi dan tindakan yang mudah dimanipulasi secara psikologis. Agresivitas verbal dan tindakan yang bersumber dari klaim-klaim kebenaran sepihak dan egosentrisme inilah yang melemahkan kohesi sosial warga.

Hasil jajak pendapat Litbang Kompas dengan 512 responden di 14 kota besar di Indonesia pada 17-19 Mei (Kompas, 22/5), mengonfirmasi kohesi sosial yang menjadi pengikat keberagaman bangsa Indonesia tengah bermasalah. Sebanyak 49,8 persen dari responden mengaku solidaritas sosialnya semakin melemah, 13,2 persen tetap, 36,6 persen semakin kuat, dan 0,4 persen tidak tahu. Ini tentu gambaran dari fenomena yang harus diberi perhatian serius oleh semua pihak.

Dalam bacaan komunikasi politik, pola peneguhan retrogresi politik kebangsaan tampaknya terjadi melalui tiga skenario. Pertama, skenario ubikuitas. Dalam bahasa Latin ubique artinya di mana-mana. Maknanya adalah menghadirkan isu yang merusak kohesi sosial secara masif dan eksesif. Konsep ubikuitas ini, meminjam istilah dari Elisabeth Noelle-Neumann, dalam bukunya The Spiral of Silence: Public Opinion- Our Social Skin (1993). Meskipun, Noelle- Neumann saat itu menggunakannya untuk melihat peran signifikan media massa dalam pembentukan opini mayoritas.

Dalam konteks retrogresi politik kebangsaan ini, caranya dengan membanjiri berita, opini, perbincangan di media massa, terutama televisi yang partisan, dan media sosial secara provokatif untuk merusak kohesi sosial secara terus-menerus. Berupaya membangun kesan terbentuknya opini mayoritas.   

Contoh aktual di media sosial, misalnya fenomena persekusi atau tindakan memburu secara liar orang lain di media sosial yang dianggap melecehkan atau menodai pihak lain ataupun ajaran agama tertentu. Warga yang jadi target persekusi  biasanya dipublikasikan profilnya, didatangi, ditekan, dipermalukan dengan memviralkan video persekusinya serta menggelandang targetnya ke polisi dan umumnya dilaporkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bisa jadi, warga yang menjadi target perburuan memang status media sosialnya melanggar, tetapi tindakan sweeping ataupun menggeruduk rumah warga dengan cara sewenang-wenang juga mengancam ketidakteraturan sosial.

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) mencatat sejak Januari-Mei 2017, telah terjadi 47 persekusi terhadap akun-akun media sosial yang dituding menghina agama atau ulama di media sosial. Bisa jadi, realitasnya lebih banyak lagi. Hal ini, bisa menjadi bagian skenario menghadirkan isu di mana-mana, selain sejumlah cara lain, misalnya menyebar provokasi lewat grup Whatsapp, menulis status dan membagikan foto serta video di ragam media sosial.

Kedua, skenario kumulasi. Maksudnya, mengelola pertentangan kumulatif antarwarga sampai di momentum tertentu agar tujuannya tercapai. Hal ini, bisa kita baca dari gegap gempitanya isu yang merusak kohesi sosial meski pilkada serentak 2017, terutama di Pilkada DKI sudah usai. Ada potensi, politisasi SARA dan politik identitas akan dipakai ulang di daerah-daerah lain yang berpilkada serentak tahun 2018. Terlebih tahun depan, ada beberapa daerah yang menjadi battle ground politik nasional, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Puncak skenarionya, sangat mungkin terjadi pada tahun 2019. Sisi gelap pertarungan pilkada dan pilpres yang mengeksploitasi isu SARA bisa jadi membentang panjang ke masa depan.

Ketiga, konsensus yakni skenario bersepakat untuk bahu-membahu bekerja sama antara mereka yang punya kepentingan elektoral dengan mereka yang sudah lama teridentifikasi sebagai kelompok intoleran, pengusung konservatisme, dan bahkan bisa saja bermain mata dengan organisasi-organisasi yang sesungguhnya tak sepenuhnya bersepakat dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi pilar politik kebangsaan.

Demokrasi elusif

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Nasional
Tok! Kasasi KPK Kabul, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Tok! Kasasi KPK Kabul, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Nasional
Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Nasional
Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com