JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah pemerintah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dinilai sebagai inisiatif yang baik.
Apalagi melihat situasi sosial saat ini, di mana ketegangan antarmasyarakat masih kerap terjadi. Upaya membangkitkan kembali kesadaran masyarakat akan nilai-nilai Pancasila tentu sangat diperlukan.
"Bukan hanya pemahaman, tapi penghayatan (Pancasila) juga," kata Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Pendeta Andreas Anangguru Yewangoe, di kantor Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), Jakarta Pusat, Jumat (9/6/2017).
Menurut dia, UKP-PIP sebagai filter dari ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan berpotensi memecah belah bangsa.
"Ini memang diupayakan supaya ideologi lain itu, yang memang sudah ada juga, sudah masuk di negeri kita, itu bisa dibendung lagi," ucapnya.
Namun menurut Andreas, UKP-PIP jangan seperti program Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang dibuat oleh Pemerintahan Orde Baru, meskipun tujuannya agar masyarakat memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
"Yang harus kita waspada adalah, jangan sampai unit ini (UKP-PIP) hanya mengulangi P4 dulu. P4 dulu kan bersifat doktriner, formalistik, doktrinasi, dan seterusnya, itu tidak boleh terulang," kata dia.
Ketika disinggung bagaimana cara efektif agar upaya penanaman nilai Pancasila bisa berhasil, Andreas belum bisa menjelaskannya.
Namun yang pasti, kata Andreas, dewan pengarah UKP-PIP yang terdiri dari sembilan orang itu harus melihat persoalan dari akar rumput atau lapisan masyarakat.
Adapun sembilan dewan pengarah itu, yakni Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Ahmad Syafii Ma'arif, Said Agil Seeradj, Ma'ruf Amin, Muhammad Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe dan Wisnu Bawa Tenaya.
"Saya belum tahu, tapi yang pasti saya kira jangan terlalu apa, kan ini hanya sembilan orang, tapi saya kira mereka merumuskan hal hal yang barangkali ebrtolak dari bawah," ujarnya.
(Baca juga: Wasejkjen PDI-P Harap UKP Pancasila Tak jadi Lembaga Seremonial)