JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai, sejumlah tindakan yang belakangan ini disebut persekusi, belum tentu merupakan persekusi yang potensial menjadi kejahatan kemanusiaan.
Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah mengatakan, merujuk pada ketentuan hukum, baik hukum di Indonesia maupun internasional, persekusi harus bersifat sistematis dan terjadi secara meluas.
Jika tidak, maka tak bisa dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan, tetapi tindak pidana biasa (ordinary crime).
Pada tindakan persekusi, menurut dia, ada unsur penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan atau pengrusakan terhadap orang atau barang (Pasal 170 KUHP).
"Persekusi kemudian dimasukkan ke dalam Statuta Roma (1998) sebagai salah satu perbuatan yang apabila dilakukan secara sistematis atau meluas, kemudian masuk dalam salah satu kejahatan terhadap kemanusiaan. Tetapi, apabila tidak dilakukan secara sistematis atau meluas, kemudian bisa masuk dalam hukum pidana biasa," kata Roichatul, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (6/6/2017).
(Baca: Wiranto Bantah Persekusi Terjadi karena Lambatnya Kinerja Kepolisian)
Jika merupakan kejahatan pidana biasa, polisi bisa menggunakan pasal-pasal dalam KUHP untuk menjerat pelaku.
"Ketika polisi menegakkan hukum, bisa melihat pasal-pasal yang ada dalam hukum pidana Indonesia, karena apabila tidak memenuhi ketentuan atau elemen sistematis atau meluas, maka masuk ke dalam hukum pidana biasa," kata Roichatul.
Ia menjelaskan, suatu kejadian bisa disebut terjadi secara sistematis jika dilakukan secara terencana, ada polanya, serta bagian dari kebijakan organisasi tertentu (bisa negara dan non-negara), dan ada infrastruktur yang terlibat.
"Kebijakan organisasi ini bisa kita lacak, tetapi kadang (kebijakan itu) tidak tertulis," kata Roichatul.
Sementara, parameter meluas, jika kejadian tersebut terjadi dalam wilayah geografis yang luas.
(Baca: Hidayat Nur Wahid Sebut Persekusi adalah Asap dari Api)
Roichatul mengatakan, persekusi bisa saja terjadi secara meluas, tetapi tidak sistematis. Terkait tindakan yang dialami oleh seorang dokter di Sumatera Barat dan seorang remaja di Jakarta, Komnas HAM harus melakukan serangkaian proses untuk mengetahui apakah termasuk persekusi atau tidak.
Proses itu di antaranya, pemantauan, penyelidikan, hingga kajian hukum untuk memvonis beberapa peristiwa dengan pola sama sebagai peristiwa sistematis dan memenuhi unsur persekusi.
"Untuk menyebut sistematis atau meluas, kita harus hati-hati," kata dia.