Sila Ketiga
Kualitas rendah itu berujung pada ancaman pada Sila Ketiga, "Persatuan Indonesia". Berbagai kekecewaan terhadap kebijakan ekonomi-politik menyatu padu dengan politik identitas yang hari ini menguat. Hasilnya, masyarakat terbelah.
Adagium lama ada benarnya, "Setiap peristiwa politik selalu menyisakan residu sosial". Residu itu berupa kentalnya rasa prasangka agama, etnis, kelas dan sebagainya.
Persatuan Indonesia tentu saja idiom yang berdimensi sosial-politik. Dimana persatuan menyaratkan keberterimaan satu sama lain, termasuk dalam perbedaan afilisiasi politik, latar belakang etnis, agama, kelas sosial dan seterusnya.
Derajat keberterimaan itu mengalami korosi akibat politik yang banal dan anti akal sehat. Belum lagi ditambah seliweran hoax di media sosial membuat derajat korosi makin pekat.
Menariknya, seperti "Panasbung", adanya hoax adalah tindakan yang disengaja untuk melakukan pembelokan informasi. Sudah rahasia umum saban event politik para buzzer dan hoax creator berkeliaran di ruang-ruang maya.
Habermas (1989), filosof Jerman itu, mungkin tersenyum kecut melihat media sosial sebagai ideal type ruang publiknya; Di saat yang bersamaan, ruang publik justru sumber dan penyebarluasan distorsi informasi.
Sila Kedua
Tak seperti event politik yang temporer dengan hasil kalah-menang, residu sosial cenderung mengendap. Endapan-endapan itu muncul dalam nyinyiran sehari-hari. Media sosial membuat nyinyiran teramplifikasi.
Demokrasi baru mengenal istilah netizen, para warga siber yang hidup dan menghidupi media sosial. Cuitan di media sosial yang awalnya private menjadi public saat ditangkap, dikomentari, dibagi dan diviralkan para netizen.
Alhasil, muncullah fenomena persekusi individu oleh kelompok orang gegara cuitan di media sosialnya. Kasus persekusi terkini dialami Fiera Lovita (Sumatera Barat) dan seorang remaja di Jakarta Timur beberapa waktu terakhir (Mei, 2017).
Fenomena itu membuat Sila Kedua, "Kemanusiaan yang adil dan beradab" menjadi hilang spiritnya. Tindakan persekusi secara langsung mencederai kemanusiaan dimana seseorang berhak diperlakukan dengan adil serta beradab.
Adil dalam konteks itu bisa menjadi jembatan dialog ihwal perbedaan pendapat yakni upaya klarifikasi sehingga memperoleh informasi yang utuh dan tidak berat sebelah.
Adil dan beradab dalam setarikan nafas, menyaratkan upaya mencari keadilan dilakukan dengan cara yang beradab. Tindakan persekusi karenanya tertolak karena tak adil (berat sebelah) dan tak beradab (memaksa/ menganiaya).
Sila Pertama
Setelah kita urai berbagai gejala yang ada, pada puncaknya kita saksikan Sila Pertama menjadi sesuatu yang penuh kontradiksi.
"Ketuhanan Yang Maha Esa" harusnya menggenapkan klaim bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius.
Namun, fakta-data menyiratkan hal sebaliknya: ada gap antara klaim religius dengan perilaku etis dalam berekonomi, berpolitik, bersosial dan berbudaya.
Menjadi masuk akal bila dalam risetnya Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari menempatkan Indonesia pada peringkat 140 dari 208 negara yang disurvei.
Dalam publikasinya How Islamic are Islamic Countries? (2010), mereka membuat Islamicity Index yang menjadi ukuran tingkat keislaman suatu negara. Di peringkat atas adalah New Zealand (1), Luxemburg (2), Finlandia (5) dan negara-negara Eropa lainnya.
Sedangkan Indonesia, negara mayoritas Muslim di dunia justru terdepak. Paralel dengan Arab Saudi yang nangkring di posisi 131.
Apa sebab?
Dalam penjelasannya Rehman mengungkapkan banyak negara yang mengklaim diri Islam namun sering bertindak tidak adil dan korup.
Sebaliknya New Zealand dengan yang sebagian besar penduduknya tak beragama, justru peringkat 1 dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK); Luxemburg nomor 11 dan Finlandia nomor 3. Itu artinya pemerintahannya bersih dari korupsi. Berbanding misalnya Indonesia di peringkat 90.
Alhasil derajat religiusitas masyarakat Indonesia itu demikian fragile dan fragmented. Anekdotnya adalah: salat, zakat, puasa dan haji jalan, bersamaan dengan itu lakukan korupsi.
Yang membuat jutaan warga tak dapat akses fasilitas publik dengan baik, misalnya korupsi pengadaan al Quran (2012), fasilitas olah raga (2011), alat kesehatan (2013), beras miskin (2013), e-KTP (2012), simulator SIM (2011) dan kasus-kasus lainnya yang terbongkar beberapa tahun belakangan.
Conditio Sine Qua Non
Cara baca Pancasila yang dialektik ini memiliki daya ledak bagi perubahan sosial sebagai pra syarat pemenuhan sila-sila lainnya.
Sila Kelima harus dijadikan sebagai titik tolok visi Indonesia Merdeka yang dengan simultan dan berkesinambungan akan mengondisikan pemenuhan sila-sila di atasnya.
"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" adalah syarat atau conditio sine qua non bagi lahirnya manusia yang beradab dan religio-etis sesuai tujuan kemerdekaan bangsa ini.
Dalam tradisi Islam kita akrab dengan hadist, "Kadal faqru an yakuuna kufran". Bahwa keadaan (faqru) miskin cenderung membuat orang menjadi kufur (keliru memilih jalan).
Fakir dalam konteks ini dapat kita perluas maknanya menjadi: terbatas pendidikan, terbatas penghasilan, terbatas ruang sosial, terbatas akses fasilitas publik dan lainnya.
Pancasila harus diartikulasikan pertama-tama dan yang utama oleh negara dengan jalan mereduksi kondisi-kondisi keterbatasan itu.
Hal itu senada dengan Amartya Sen (1998) yang menulis tentang pembangunan sebagai kebebasan. Berkurangnya kondisi yang membelenggu (disability) dan bertambahnya kondisi yang memampukan (ability).
Absennya akal sehat dari beragam gejala masalah di atas hanyalah refleksi dari sebuah struktur sosial yang timpang yang membuat masyarakat menjadi disable menggunakan akal sehat dan nuraninya.
Keadilan, dalam seluruh peradaban manusia merupakan nilai luhur tertinggi yang mengatasi nilai-nilai lainnya. Keadilan sosial merupakan modus dasar hidup yang akan hasilkan masyarakat sejahtera dan beradab yang dalam bahasa Soekarno, tiada lagi exploitation de l'homme par l'homme.
Keadilan sosial itu bisa dimulai dari adil dalam akses dan distribusi kekayaan melalui demokratisasi ekonomi Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.