JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara senior Todung Mulya Lubis berpendapat bahwa tindakan represif dan upaya penegakan hukum tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan maraknya ujaran kebencian atas dasar identitas di tengah masyarakat.
Begitu juga dengan upaya sensor dari pemerintah terhadap akun-akun yang diduga menyebar kebencian di media sosial.
Menurut Todung, kelompok penyebar materi kebencian cenderung bereproduksi dan berlipat ganda meski polisi sudah mengambil tindakan.
"Tindakan represif tidak akan bisa menangkal semua itu. Saya tidak percaya pendekatan hukum saja bisa mengatasinya," ujar Todung dalam sebuah diskusi bertajuk 'Pancasila dan Kebhinnekaan: Problematika Ujaran Kebencian atas Dasar Identitas' di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2017).
(Baca: "Ujaran Kebencian dan Ancaman Melanggar Hukum, Serahkan kepada Aparat")
Todung menjelaskan, upaya persuasif dan edukatif oleh pemerintah kepada masyarakat sebagai pengguna internet lebih efektif untuk menekan penyebaran ujaran kebencian.
Dengan begitu, lanjut Todung akan terbentuk kesadaran pengguna internet dan media sosial untuk mengatur dirinya sendiri atau "self-governance".
Todung menyebut upaya tersebut sebagai solusi jangka panjang. Pemerintah harus membangun kesadaran kebangsaan di atas kemajemukan dan keberagaman sebagai modal sosial.
"Mereka yang memprovokasi memang harus diproses. Tapi lebih efektif upaya jangka panjang, harus dibangun kesadaran kebangsaan yang dibangun atas kemajemukan dan keberagaman sebagai modal sosial," tutur dia.
(Baca: Lakukan Ujaran Kebencian di Medsos, Ibu Rumah Tangga Ditangkap Polisi)
Menurut Todung, pemerintah harus mulai segera mengimplementasikan solusi jangka panjang tersebut.
Sebab, maraknya ujaran kebencian saat ini sudah menciptakan keterbelahan di masyarakat.
Masyarakat, kata Todung, dipolarisasi menjadi kelompok-kelompok yang memiliki pola pikir eksklusif.
"Kita dihadapkan pada keterbelahan, kamu lawan atau kawan. Kalau pola ini terus berjalan, keadaan akan out of hand," ucapnya.