Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demi Nilai Keberagaman, Guru Ini Rela Jauh-jauh ke Ibu Kota

Kompas.com - 22/05/2017, 12:19 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Lepas subuh Koidah sudah berangkat menuju ibu kota dari Stasiun Cirebon. Kegiatan ini akan menjadi rutinitas baru selama enam bulan ke depan, bagi perempuan yang berprofesi sebagai guru pendidikan agama Islam (PAI) kelas X di SMAN 1 Plumbon itu.

"Tadi jalan dari rumah 05.15, terus naik Argo Jati ke Gambir," kata Koidah saat ditemui Kompas.com, akhir pekan lalu.

Sabtu itu adalah hari pertama Koidah dan 34 guru dari wilayah Jabodetabek, Pandeglang, Cirebon dan sekitarnya mengikuti kelas Sekolah Guru Kebhinekaan (SGK).

SGK merupakan program yang diinisiasi oleh Yayasan Cahaya Guru, yang bertujuan untuk mempersiapkan dan mendampingi para guru menjadi rujukan kebinekaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Tujuan itu disampaikan Ketua Umum Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Sitepu, saat berbincang dengan Kompas.com, di sela-sela pembukaan kelas perdana SGK angkatan kedua.

Motivasi Koidah mengikuti program ini sangat sederhana. Ia ingin memperluas jaringan dan saling berbagi dengan sesama guru yang memiliki perhatian sama atas isu-isu kebinekaan. Dorongan tersebut muncul lantaran ia sendiri merasakan ancaman intoleransi sudah masuk ke dunia pendidikan.

Ironisnya, yang demikian itu justru tidak tampak dari anak didiknya, melainkan salah satunya dari sesama guru PAI yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PAI.

(Baca: Involusi Makna Toleransi)

"Yang saya lihat itu di grup justru lebih banyak mengumbar info-info hoax, info-info intoleransi, info-info yang berkaitan dengan Ahok lah, Chinese lah, yang sebenarnya enggak ada hubungannya sama Cirebon kalau menurut saya," ucap Koidah.

"Dan tidak ada hubungannya dengan bagaimana kita mengajarkan ke anak-anak tentang teks-teks yang kita punya," kata Koidah lagi.

"Bahwa agama Islam itu mengajarkan toleransi. Toleransi yang seperti apa tidak dijelaskan di sisi itu. Tetapi hanya Anda sebagai seorang Islam harus jihad sampai titik darah penghabisan. Nah penghabisan yang bagaimana? Jihad yang seperti apa?" imbuhnya.

Sejauh yang Koidah tahu, materi tentang toleransi, materi tentang jihad untuk kelas X bangku menengah atas adalah soal berjihad secara ilmu. Hijrah mencari ilmu hingga seperti kata pepatah "tuntutlah ilmu sampai ke negeri China".

"Kan begitu seharusnya. Tetapi kenyataannya tidak. Itu yang saya sayangkan. Yang saya bingung lagi pengawas PAI-nya di MGMP bicara China-anti-China, lalu hoax tidak boleh begini begitu. Saya pikir di mana ini peran pemerintah, Depag, Dinas?" kata Koidah.

(Baca: Menjaga Toleransi Lewat Peraturan Daerah)

Kendati sejauh ini masih bisa mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai pluralisme, namun Koidah juga mengaku sempat khawatir. Sebab, tak sedikit juga yayasan atau organisasi non-profit di Kabupaten Cirebon bernuansa keagamaan yang menawarkan mentoring.

"Cuma menurut saya (mereka itu) lebih kepentingan politis dan menanamkan hal-hal yang menurut saya tidak bisa membedakan, mana yang mengajarkan hubungan saya dengan Tuhan, dan hubungan saya dengan manusia lainnya," tutur Koidah soal ancaman masuknya paham radikalisme.

Koidah yang mengaku orang Nahdlatul Ulama ini langsung menolak tawaran-tawaran itu. Di sisi lain, perannya sebagai guru pengampu PAI membuat Koidah memiliki komitmen untuk menjaga masuknya paham radikalisme dan bibit intoleransi.

Ia pun punya cara sendiri untuk itu. Koidah meminta komitmen anak-anak didiknya terutama yang ikut organisasi siswa kerohanian Islam, untuk meneruskan materi yang diajarkan selama lima tahun, kepada adik-adik kelas mereka.

"Dengan model militansi yang saya lakukan di Rohis itu, saya meyakini ketika saya bisa memutus rantai satu orang lima tahun, berikutnya lima tahun, maka sedikit demi sedikit kita bisa memutus tali intoleransi," kata Koidah.

Koidah mengikuti program SGK ini dengan merogoh kocek pribadi. Sekali pulang-pergi Cirebon-Jakarta, Koidah harus mengeluarkan ongkos sekitar Rp 400.000-Rp 500.000.

Dia pun berharap program seperti SGK ini bisa diselenggarakan di luar Jakarta. Selain program untuk para guru, Koidah berharap agar ada program atau kelas kebinekaan serupa yang dirancang untuk para pelajar.

"Agar bisa menjadi tutor sebaya. Karena poin menjadi tutor sebaya itu lebih berarti, ketimbang kita (orang tua) yang mendekati, lebih didengarkan, dan mereka punya cara sendiri dengan sebaya," kata Koidah.

Koidah menjadi peserta SGK angkatan kedua terjauh, yaitu dari Cirebon. Namun selain Koidah, ada juga guru dari luar Jakarta yang mau repot-repot selama 15 kali pertemuan mengikuti kelas di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dia lah Sartaman, seorang guru SMA PGRI Pandeglang, Banten dan SMKN 7 Pandeglang. Taman, begitu biasa guru IPS ini dipanggil, mengaku butuh mengikuti kelas kebinekaan. Sebab, anak-anak didiknya juga beragam.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Tanggal 28 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 28 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
'Checks and Balances' terhadap Pemerintahan Dinilai Lemah jika PDI-P Gabung Koalisi Prabowo

"Checks and Balances" terhadap Pemerintahan Dinilai Lemah jika PDI-P Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Berikut Daftar Koalisi Terbaru Indonesia Maju

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Berikut Daftar Koalisi Terbaru Indonesia Maju

Nasional
PKS Temui PKB Bahas Potensi Kerja Sama untuk Pilkada 2024, Jateng dan Jatim Disebut

PKS Temui PKB Bahas Potensi Kerja Sama untuk Pilkada 2024, Jateng dan Jatim Disebut

Nasional
Dilaporkan ke Dewas, Wakil Ketua KPK Bantah Tekan Pihak Kementan untuk Mutasi Pegawai

Dilaporkan ke Dewas, Wakil Ketua KPK Bantah Tekan Pihak Kementan untuk Mutasi Pegawai

Nasional
Lantik Sekjen Wantannas, Menko Polhukam Hadi Ingatkan Situasi Keamanan Dunia yang Tidak Pasti

Lantik Sekjen Wantannas, Menko Polhukam Hadi Ingatkan Situasi Keamanan Dunia yang Tidak Pasti

Nasional
Dudung Abdurahman Datangi Rumah Prabowo Malam-malam, Mengaku Hanya Makan Bareng

Dudung Abdurahman Datangi Rumah Prabowo Malam-malam, Mengaku Hanya Makan Bareng

Nasional
Idrus Marham Sebut Jokowi-Gibran ke Golkar Tinggal Tunggu Peresmian

Idrus Marham Sebut Jokowi-Gibran ke Golkar Tinggal Tunggu Peresmian

Nasional
Logo dan Tema Hardiknas 2024

Logo dan Tema Hardiknas 2024

Nasional
Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Nasib Koalisi Perubahan di Ujung Tanduk

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Nasib Koalisi Perubahan di Ujung Tanduk

Nasional
PKS Undang Prabowo ke Markasnya, Siap Beri Karpet Merah

PKS Undang Prabowo ke Markasnya, Siap Beri Karpet Merah

Nasional
Selain Nasdem, PKB Juga Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Selain Nasdem, PKB Juga Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
BRIN Bahas Pengembangan Satelit untuk Waspadai Permasalahan Keamanan Antariksa

BRIN Bahas Pengembangan Satelit untuk Waspadai Permasalahan Keamanan Antariksa

Nasional
Nasdem dukung Prabowo-Gibran, Golkar Tak Khawatir Jatah Menteri Berkurang

Nasdem dukung Prabowo-Gibran, Golkar Tak Khawatir Jatah Menteri Berkurang

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Hasto Kristiyanto dan Hadirnya Negara Kekuasaan

GASPOL! Hari Ini: Hasto Kristiyanto dan Hadirnya Negara Kekuasaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com