JAKARTA, KOMPAS.com - Lenturnya rumusan delik dalam penodaan agama dinilai membuat pengadilan selalu gagal dalam menentukan batas tegas atas suatu pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai penodaan atau permusuhan terhadap agama tertentu.
Hal itu disampaikan Insitute for Criminal Justice Reform (ICJR) melalui keterangan tertulis , yang diterima Kompas.com, Jumat (5/5/2017).
Menurut ICJR, persoalan pasal-pasal penodaan agama bukan hanya terletak pada rumusannya, melainkan juga pada pelaksanaan dari aturan pidana tersebut.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ketentuan mengenai penodaan agama diatur dalam Pasal 156 a.
Ketentuan ini mengacu pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965, di mana Pasal 1 beleid tersebut menyebutkan dengan tegas, larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran terhadap sesuatu agama.
"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu".
Sementara itu, dalam pembahasan Rancangan KUHP, ketentuan mengenai penodaan agama diatur dalam Pasal 348 hingga Pasal 350.
ICJR memandang, kebebasan berekspresi adalah “cornerstone” yang memungkinkan hak-hak lain dapat dinikmati dan dilindungi.
Oleh karena itu, kebebasan berekspresi harus dilindungi karena penting untuk pelaksanaan kebebasan beragama.
Jika orang tidak bebas untuk mewujudkan agama mereka, tidak ada hak untuk kebebasan berekspresi.
ICJR juga sepakat bahwa kebebasan berekspresi bukan tanpa batas.
Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 ayat (3) ICCPR.
Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi terutama dalam kebebasan beragama tetap harus diatur berdasarkan kerangka uji tiga rangkai.
Pertama, pembatasan dilakukan hanya untuk memenuhi tujuan yang sah.
Kedua, pembatasan tersebut harus dilakukan berdasarkan UU yang berlaku, yang ditetapkan secara demokratis.