JAKARTA, KOMPAS.com - Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menganggap aksi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) pada Jumat (5/5/2017), tidak perlu dilakukan.
Aksi tersebut rencananya dilakukan di depan gedung Mahkamah Agung menjelang sidang putusan hakim terhadap terdakwa dugaan penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
"Sebetulnya itu saya pikir tidak perlu demo maupun aksi dalam jumlah yang besar karena pasti akan mengganggu ketertiban publik," ujar Tito di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Meski begitu, Tito mengakui aksi unjuk rasa dilindungi oleh undang-undang. Namun, dalam aturan tersebut ada batasannya.
Pertama, aksi tidak boleh mengganggu ketertiban publik. Aksi juga tidak boleh menggangu hak asasi orang lain.
Selain itu, isi tuntutan dalam unjuk rasa tidak boleh menghujat.
"Harus mengindahkan etika dan moral. Jadi menghujat, mencaci maki, itu tidak boleh," kata Tito.
Ia mempersilakan aksi tetap dilakukan asalkan jangan melanggar undang-undang. Yang terpenting, yakni menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain itu, dalam aturan disebutkan bahwa setiap 100 orang peserta aksi, harus ada lima orang yang menjadi pengendali.
"Tapi saya pikir kalau yang tidak berkepentingan tidak perlu juga berbondong-bondong datang pasti akan mengganggu ketertiban publik," kata Tito.
Tito juga menekankan, tujuan demonstrasi nanti tidak boleh untuk mengintervensi hakim.
"Hakim tentunya bebas mengambil keputusan dan dijamin undang-undang berdasarkan minimal dua alat bukti dan keyakinannya dan sekaligus pertanggung-jawaban yang bersangkutan memutus kepada Tuhan Yang Maha Esa," kata Tito.
"Kita akan memberikan jaminan kepada hakim mekanisme persidangan tanggal 9 Mei dilaksanakan sesuai ketentuan, tidak ada tekanan dari pihak manapun," lanjut dia.