Kerja pimpinan, lanjut Lucius, juga banyak diisi dengan urusan seremonial yang kemanfaatannya tak jelas. Meski begitu, hal itu justru dianggap penting oleh partai-partai.
"Ini rupanya yang membuat fraksi-fraksi merasa penting untuk mempunyai seorang wakil di singgasana pimpinan," kata dia.
Kekeliruan sejak awal
DPR seolah tak lepas dari perdebatan pro-kontra kursi pimpinan sejak awal periode 2014-2019.
Diawali dengan penetapan lima pimpinan DPR dan MPR yang ditentukan berdasarkan sistem paket.
(Baca: Revisi UU MD3 Segera Dibahas, PKB Tetap Upayakan Jatah Kursi Pimpinan)
Padahal, pada periode sebelumnya penetapan didasarkan pada peringkat hasil pemilu legislatif.
Alasan PDI-P meminta kursi pimpinan atas dasar sebagai partai pemenang pemilu dinilai logis.
Namun, Lucius menganggap alasan tersebut tetap tak bisa menyembunyikan nafsu kekuasaan di balik usulan tersebut.
Jika niat PDI-P merupakan sesuatu yang murni didorong oleh semangat penguatan lembaga DPR, kata dia, mestinya perjuangan untuk memastikan pemenang pemilu mendapatkan jatah kursi pimpinan sudah dilakukan dalam proses pembahasan RUU MD3 2014 lalu.
"Nyatanya mereka gagal memperjuangkan itu pada proses pembahasan awal," kata Lucius.
Sekalipun ada keinginan untuk mengubah MD3 terkait jatah kursi pimpinan bagi partai pemenang, seharusnya dilakukan untuk periode selanjutnya.
(BacA: Substansi Revisi UU MD3 Diprediksi Akan Meluas)
Dengan adanya sejumlah perdebatan soal jatah kursi pimpinan dalam proses pembahasan RUU MD3, Lucius menilai semakin mempertegas tidak ada urgensi untuk melanjutkan pembahasan.
Fungsi legislasi DPR, kata dia, tak boleh diabdikan untuk kepentingan fraksi dan anggota DPR saja.
"Artinya pembahasan legislasi harus memperlihatkan kepentingan rakyat yang diwakili dalam proses tersebut," tutur Lucius.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.