JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, menegaskan tak ada yang salah dengan status pencegahan Setya Novanto ke luar negeri, meski saat ini Ketua DPR itu masih berstatus sebagai saksi.
Ia menyatakan, keputusan pencegahan Novanto sangat mempertimbangkan aturan hukum yang ada.
Hal itu disampaikan Yasonna seusai mengikuti rapat panitia kerja (panja) revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/4/2017).
(Baca: Fahri Hamzah Nilai Imigrasi Harus Kirim Surat Cegah Novanto ke DPR)
"Kami kan hanya melaksanakan. Itu sudah mekanisme, dari dulu sudah begitu. Apa polisi yang mengirim, apa jaksa yang mengirim, siapa saja," ucap Yasonna.
Saat ditanya apakah Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi yang dibawahi Kemenkumham tak berhak menolak permintaan cekal yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yasonna menegaskan dirinya hanya mengikuti aturan hukum yang ada.
"Ya memang begitu, aturannya memang begitu. Perintah undang-undang. Ya enggak bisa dong. namanya aturan hukum," lanjut Yasonna.
(Baca: Wakil Ketua Fraksi PDI-P Nilai Pencegahan Setya Novanto Dilematis)
Sebelumnya DPR berencana mengirim nota keberatan atas pencegahan Ketua DPR Setya Novanto oleh Ditjem Imigrasi atas statusnya sebagai saksi kasus korupsi e-KTP.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyatakan pencegahan tersebut melanggar Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang keimigrasian.
(Baca: Nota Keberatan Pencegahan Setya Novanto Akan Diberikan Langsung kepada Jokowi)
Menurut Fahri, berdasarkan undang-undang tersebut Novanto tak bisa dicegah ke luar negeri karena masih berstatus saksi.
Namun, pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan pencegahan tersebut sah di mata hukum.
Sebab pencegahan yang dilakukan mengacu pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, bukan Undang-undang Imigrasi.