JAKARTA, KOMPAS.com - Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu tengah mempertimbangkan untuk menyederhanakan proses rekapitulasi suara.
Kini ada dua opsi yang berkembang. Pertama, tetap mempertahankan proses rekapitulasi yang berlangsung mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi, hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat.
Sementara opsi kedua, rekapitulasi suara dimulai di KPU tingkat kabupaten atau kota untuk memperpendek proses rekapitulasi suara.
"Karena memang kan kita tahu kalau dengan metode berjenjang itu banyak suara yang hilang, makanya dimunculkan opsi rekapitulasi bukan dari PPS (Panitia Pemungutan Suara), tapi dari KPU kabupaten atau kota," kata Wakil Ketua Pansus Yandri Susanto di Kompleks Parlemen, Senyan, Jakarta, Senin (17/4/2017).
(Baca: Pansus RUU Pemilu Bahas Wacana Perpendek Alur Rekapitulasi Suara)
Namun, menurut Yandri, ada dampak positif dan negatif dari kedua opsi tersebut. Bila menggunakan opsi pertama, konsentrasi masa saat pemungutan suara akan menyebar sehingga meminimalisasi potensi konflik dari pihak yang kalah.
Namun demikian, seperti pengalaman pemilu sebelumnya, akan banyak terjadi praktek pencurian suara.
Sedangkan untuk opsi kedua, menurut Yandri, mampu meminimalisasi praktek pencurian suara.
Namun, konsentrasi massa akan terkumpul pada satu titik saat proses rekapitulasi suara, yakni di KPU kabupaten atau kota.
(Baca: Pansus RUU Pemilu Dinilai Bekerja Tertutup dan Rentan Transaksional)
Hal tersebut menurut Yandri, akan meningkatkan potensi konflik yang muncul dari pihak yang kalah.
"Jadi itulah pertimbangannya. Masih kami hitung. Nanti malam kami putuskan dalam rapat bersama KPU dan Bawaslu, termasuk juga kami tetapkan soal tahapan Pemilu 2019," lanjut politisi PAN itu.