JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan melayangkan surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo atas pencegahan Ketua DPR RI Setya Novanto ke luar negeri.
Langkah tersebut menindaklanjuti nota keberatan Fraksi Partai Golkar dan telah menjadi surat resmi kelembagaan karena telah disepakati dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus), Selasa (11/4/2017) malam.
"Kami akan melanjutkan surat atau nota protes dari Fraksi Partai Golkar itu menjadi sikap dari Bamus DPR yang akan kami sampaikan kepada Presiden," kata Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.
(baca: Novanto Dicegah ke Luar Negeri, Golkar Minta Publik Tak Menghakimi)
Keberatan tersebut, kata Fahri, didasari sejumlah pertimbangan.
Pertama, fakta bahwa Novanto secara kelembagaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) memiliki posisi penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.
Dengan posisi Novanto sebagai Ketua DPR RI, ia juga diamanatkan untuk menjalankan fungs diplomatis yang masif.
"Kita tahu ada banyak forum internasional yang kadang-kadang tidak bisa diwakili anggota atau pimpinan Dewan yang lain," ujar Fahri.
"Dengan status cekal ini maka Pak Novanto tidak bisa pergi," sambungnya.
(baca: Ini Alasan KPK Cegah Setya Novanto ke Luar Negeri)
Fahri juga menyinggung alasan KPK meminta pengajuan pencegahan tersebut ke Ditjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM, yakni untuk memudahkan proses pemeriksaan.
Ia meyakini selama ini Novanto sudah sangat kooperatif terhadap pemeriksaan yang dilakukan KPK.
Selain itu, pencegahan tersebut dinilai bisa mencoreng nama Indonesia khususnya DPR dalam kancah diplomasi internasional.
"Pencegahan terhadap Ketua DPR yang berstatus sebagai saksi dapat mengganggu kerja kelembagaan dan memperburuk citra DPR sebagai lembaga negara di mata publik, tidak saja di dalam tapi di luar negeri," tuturnya.
Novanto sebelumnya mengaku mendukung apapun langkah KPK. (baca: Dicegah ke Luar Negeri, Ini Tanggapan Setya Novanto)