JAKARTA, KOMPAS.com - Bupati Rembang Abdul Hafidz menyebut bahwa masyarakat Rembang yang menolak aktivitas pertambangan karst PT Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng, sebenarnya berjumlah sedikit.
"Yang kontra hanya sedikit. Yang bermain ini kebanyakan dari luar Rembang," ujar Abdul di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (3/4/2017).
Meski demikian, Abdul enggan menyebutkan siapa kelompok masyarakat di luar Rembang yang turut meramaikan penolakan aktivitas tambang PT Semen Indonesia tersebut.
"Enggak tahulah siapa. Umumnya pokoknya bukan orang Rembang. Orang Rembang itu hanya beberapa gelintir saja," ujar dia.
(Baca: Air Mata Petani Kendeng dan Prinsip "Sedulur Sikep" Menjaga Ibu Bumi)
Abdul mengatakan, faktanya banyak masyarakat sekitar pertambangan yang mendapatkan manfaat dari aktivitas PT Semen Indonesia.
Salah satunya adalah mendapatkan pekerjaan dari proses pengolahan karst menjadi semen. Namun, manfaat positif ini tetap tidak membuat masyarakat yang kontra untuk mengubah pandangannya. Bagi mereka yang menolak, aktivitas tambang karst tetap negatif.
"Bagi yang kontra pasti tidak merasakan manfaat. Kalau yang pro ya pasti merasakan manfaat. Jadi ini hanya persoalan ego saja," ujar Abdul.
(Baca: Bertemu Jokowi, Petani Kendeng Ini Menangis Tuntutannya Tak Dipenuhi)
Diketahui, aktivitas penambangan karst di Watuputih, Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, mendapat penolakan dari warga sekitar. Mereka menyebut, penambangan di pegunungan itu merusak sumber air bagi warga.
Para petani dan aktivis lingkungan hidup menggelar aksi protes di depan Istana Presiden dengan membelenggu kedua kaki menggunakan adukan semen.
Belakangan, pemerintah pun sepakat menghentikan pengoperasian aktivitas penambangan di sana sambil menunggu hasil KLHS. Hasil KLHS sendiri sebenarnya sudah rampung. Namun, hasilnya mesti dikaji terlebih dahulu.
(Baca: YLBHI: Pemerintah Harusnya Malu dengan Aksi Petani Kendeng)
"Iya KLHS-nya sudah keluar. Tapi belum bisa kami sampaikan," ujar Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (3/4/2017).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS, setelah hasil KLHS rampung, mesti diuji terlebih dahulu oleh para pakar.
"Sekarang (hasil KLHS) sedang diuji oleh tim quality control atau ahli di bawah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ini dalam proses," ujar Teten.