Sebagian bahkan hingga gulung tikar. Namun, pada dasarnya, konsumen tak menuntut banyak hal.
Sebagai pengguna jasa, mereka menginginkan segi kenyamanan, keamanan dan efisiensi.
Pengajar Sosiologi Universitas Padjajaran Bandung Yusar Muljadji menilai, pro-kontra kemunculan transportasi online masih akan sangat panjang.
Permasalahan ini merupakan pekerjaan rumah pemerintah yang perlu waktu lama untuk menyelesaikannya.
Sebab, permasalahan ini menyangkut "rebutan" nafkah untuk penghidupan sehari-hari. Selain itu, angkutan umum juga dianggap sudah membudaya di Indonesia.
(Baca: Ojek Online dan Sopir Angkot Ricuh, Kapolri Tegur Kepolisian Bogor)
"Ini akan sangat panjang. Tantangannya juga tinggi. Karena mengubah mata pencaharian tidak gampang. Selain itu, pembenahan dengan cepat saya kira resistensinya justru akan lebih tinggi," kata Yusar saat dihubungi, Selasa (28/3/2017).
Di samping itu, kata dia, transportasi konvensional dan online sebetulnya bisa berjalan bersama-sama. Sebab, keduanya memiliki segmentasi konsumen yang berbeda.
"Konsumen-konsumen kendaraan berbasis obline bukan konsumen kendaraan umum biasa. Mereka relatif tidak mengambil para penumpang yang biasa naik angkutan umum," tuturnya.
Pemerintah, kata Yusar, harus memiliki blue print atau cetak biru sebagai sebagai perencanaan penataan transportasi di Indonesia.
Blue print tersebut kemudian dijalankan oleh kementerian dan lembaga terkait untuk sama-sama menyelesaikan peroalan ini dari segala aspek.
"Saya kira perencanaan pembangunan, Bappenas, juga harus berperan. Karena ini nyaris tanpa perencanaan dan dibiarkan terjadi sporadis," ucap Yusar.
Legalitas ojek online
Keresahan banyak diungkapkan oleh mereka para pelaku usaha dan pengendara transportasi konvensional.
Namun, di sisi lain pengendara transportasi online pun merasakan keresahan.
Sejumlah pengendara ojek online yang tergabung dalam Federasi Driver Online Nusantara (FDON) bahkan meminta mediasi dengan pimpinan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di DPR untuk menyampaikan keluhan tersebut.
(Baca: Pemerintah Dinilai Lambat Sikapi Fenomena Angkutan "Online")
Dari sejumlah keluhan yang disampaikan, permasalahan utamanya adalah menuntut adanya legalitas.
Revisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek dinilai belum mengakomodasi semua pihak.