JAKARTA, KOMPAS.com - Calon wakil gubernur DKI Jakart Djarot Saiful Hidayat, menghabiskan akhir pekan kali ini dengan menonton film "Bid'ah Cinta" bersama Nurcholis Madjid Society di Plaza Indonesia, Sabtu (25/3/2017).
Djarot datang bersama Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto.
Acara menonton bersama itu dihadiri pula oleh sang sutradara, Nurman Hakim, dan para pemeran utama seperti Ayushita dan Dimas Aditya.
Djarot dan Hasto tampak menikmati film yang bercerita tentang perbedaan pandangan dalam menjalankan Islam di sebuah kampung itu. Di akhr film perbedaan pandangan tersebut bisa diselesaikan dengan cinta.
Kedua kelompok yang kerap bersitegang akhirnya bisa hidup berdampingan dan saling menghormati.
Seusai menonton, Djarot dan Hasto bertepuk tangan bersama penonton lain. Djarot mengapresiasi film tersebut.
Menurut dia, film ini mengajarkan toleransi untuk menghargai perbedaan.
"Ini bagus banget. Saya beri apresiasi sama Bang Nurman ketika sekarang ini mulai ada gejala intolerensi di masyarakat kita," ujar Djarot.
(Baca: Djarot dan Elite PDI-P Nobar Film Bid'ah Cinta)
Terlebih, kata Djarot, Indonesia, khususnya Jakarta, terdiri dari berbagai macam agama. Bahkan dalam satu agama masih terdapat kelompok yang berbeda pandangan.
Ia pun menilai, kehadiran film tersebut relevan dengan situasi Jakarta yang sempat memanas karena Pilkada DKI.
"Saya rasa cukup relevan ya. Di tengah kehadiran spanduk-spanduk yang provokatif itu rasanya kehadiran film ini relevan untuk kita semua," kata Djarot.
Hal senada disampaikan Hasto. Ia juga mengapresiasi film yang sarat dengan nilai toleransi itu.
"Film tadi menyampaikam nilai yang mendalam, nilai yang digali dari Bumi Indonesia. Sedianya Ibu Megawati akan menghadiri acara nonton bareng," ucap Hasto.
"Beliau mendapat info bahwa film ini sangat bagus, maka beliau sedianya akan hadir tapi karena beliau berhalangan hadir maka saya dan Mas Djarot yang wakilkan," lanjut Hasto.
Sementara itu, Nurman mengaku mendapat ide untuk menggarap film ini dari diskusi ihwal berkembangnya intoleransi di Indonesia, bahkan dalam satu agama.
Saat itu, empat tahun lalu, ia melihat perbedaan yang ada justru berpotensi menjadi konflik.
Karena itu, melalui film ini, ia ingin mengajak masyarakat justru melihat perbedaan sebagai berkah tanpa harus merasa paling benar sendiri.
"Tugas kita justru bagaimana pandangan yang berbeda itu dikelola. Dimana kita mengelola itu sebagai warna pelangi di langit, bukan menjadi potensi untuk konflik, itulah indahnya," papar Nurman.