JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) Masykurudin Hafidz mengatakan, penindakan dugaan pelanggaran pemilu masih belum dilakukan secara optimal.
Dugaan pelanggaran itu terutama menyangkut kasus politik uang.
"Sekarang ini terjadi penguatan hukum dalam pilkada 2017, tapi dalam praktiknya penegakan hukum tidaklah optimal," kata Masykurudin di Kantor Komisi Independen Pemantau Pemilu, Jakarta, Selasa (21/3/2017).
Masykurudin mencontohkan kasus politik uang yang terjadi di Provinsi Banten. Bawaslu Banten menghentikan pengusutan kasus dugaan politik uang yang melibatkan salah satu pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur.
Bawaslu Banten beralasan bahwa orang yang melakukan politik uang tidak diketahui keberadaannya.
"Pemberi jadi DPO (daftar pencarian orang) kasusnya dihentikan karena hilang. Pasangan calon belum tersentuh. Penegakan hukumnya susah," ucap Masykurudin.
Masykurudin mengaku heran dengan dihentikannya pengusutan kasus tersebut. Padahal, dalam menelisik politik uang, kewenangan Bawaslu telah diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Ketentuan sanksi politik uang dalam UU Pilkada diatur dalam Pasal 187 poin A hingga D. Dalam pasal itu disebut bahwa orang yang terlibat politik uang sebagai pemberi bisa dipenjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan.
Selain hukuman badan, pelaku juga dikenakan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Tak hanya kepada pemberi, penerima uang itu juga dikenakan sanksi pidana yang sama dengan pihak pemberi.
Bawaslu sendiri juga bekerja sama dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian untuk mengungkap politik uang. Mereka tergabung dalam Sentra Penegakan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu).