JAKARTA, KOMPAS.com - Pasangan calon (paslon) nomor pemilihan 6 dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Aceh, Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah meminta majelis sidang panel perselisihan hasil pilkada menolak permohonan sengketa yang diajukan oleh pasangan calon nomor pemilihan 5, Muzakir Manaf-T A Khalid.
Alasannya, permohonan yang diajukan paslon Muzakir-Khalid dinilai tidak memenuhi persyaratan diterimanya permohonan sengketa pilkada.
Hal itu disampaikan Sayuti Abu Bakar selaku pengacara Irwandi-Nova dalam sidang panel yang digelar di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (21/3/2017).
Sayuti meminta majelis sidang konsisten mengikuti aturan ambang batas perolehan suara yang diatur dalam pasal 158 Undang-Undang nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU 10/2016 tentang Pilkada).
Adapun Pasal 158 ayat 1 huruf a, menyebutkan bahwa "Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan, (a) provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi".
"Kalau penduduk Aceh kisaran 2 juta maka ambang batasnya sekitar 1,5 persen (paling banyak 2 persen). Jadi, kami minta MK komitmen menerapkan pasal tersebut (Pasal 158 UU 10/2016), sehingga permohonan pemohon itu tidak dapat diterima karena tidak memenuhi ambang batas," ujar Sayuti.
Pada Pilgub Aceh, Muzakir-Khalid meraih suara 766.427 sedangkan Irwandi-Nova meraih suara 898.710. Selisih suara kedua pasangan itu 132.283.
Untuk diketahui, Irwandi-Nova menjadi pihak terkait dalam sengketa Pilkada. Sebab sebagai pemenang, paslon tersebut menjadi pihak terdampak jika ada perubahan ketetapan hasil pilkada.
Sementara pihak termohon dalam sengketa pilkada adalah pihak penyelenggara pemungutan suara.
UU Pilkada atau UU Pemerintahan Aceh
Dalam sidang panel dengan agenda mendengarkan permohonan pemohon yang digelar pada Kamis (16/3/2017), Yusril Ihza Mahendra selaku Kuasa Hukum Muzakir-Khalid meminta majelis hakim memberi kekhususan bagi pemilihan gubernur di Provinsi Aceh.
Menurut Yusril, harusnya MK mengabaikan atau mengesampingkan ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Sebab, pasal itu berlaku untuk Pilkada di daerah lain secara nasional.
Sementara Aceh merupakan wilayah khusus sehingga harus menggunakan pasal 74 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (lex spesialis).
Dalam Pasal 74 UU Pemerintah Aceh itu tidak mengatur mengenai selisih suara. Oleh karena itu, permohonan sengketa bisa diajukan meskipun ambang batas selisih suara melebihi ketentuan pasal 158 UU Pilkada.
"Jadi, sesuai dengan prinsip hukum, aturan yang lex spesialis mengesampingkan lex generalis. Karena UU Pemerintahan Aceh bersifat khusus, maka UU ini dapat mengesampingkan ketentuan dalam UU Pilkada," ujar Yusril saat sidang perkara sengketa Pilgub Aceh Gedung MK, Jakarta.