JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos, meminta pemerintah meninjau ulang Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah.
Keberadaan peraturan tersebut disebut acap kali merugikan kelompok-kelompok minoritas di Indonesia.
"Pada Pasal 14 ayat 2, poin b, justru menjadi kendala utama kelompok-kelompok minoritas untuk dapat mendirikan rumah ibadah," kata Bonar melalui keterangan tertulis, Minggu (12/3/2017).
"Meskipun hal itu sebenarnya sudah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan atau desa," kata dia lagi.
Akibatnya, beberapa Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Philadelphia di Bekasi, hingga hari ini tak bisa digunakan untuk beribadah karena dianggap melanggar oleh sekelompok masyarakat di sana.
Di lain pihak, pemerintah daerah selaku penanggung jawab terkait perizinan rumah ibadah sekaligus penyelesaian sengketa rumah ibadah, seringkali lembek dan kalah. Akibatnya, insiden diskriminasi dan intoleransi menjadi terkesan sengaja dilakukan.
Bonar menilai hal itu sudah menjadi rahasia umum. Selain karena sikap lembek pemerintah daerah pada tekanan massa kelompok intoleran, mereka juga memelihara kelompok-kelompok tersebut sebagai konstituen politiknya.
"Mencermati fenomena intoleransi ini, pemerintah harus segera hadir mencarikan solusi agar kelompok-kelompok yang terdiskriminasi dapat melaksanakan peribadatan baik secara individu maupun secara kelompok sebagaimana amanat konstitusi," ujar Bonar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.