JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membutuhkan waktu hampir 3 tahun untuk menuntaskan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Naiknya berkas penyidikan ke tahap penuntutan tidak sekadar menujukan eksistensi KPK.
Hal itu juga menunjukkan nyali besar KPK dalam memproses hukum para elite politik yang terlibat korupsi.
Surat dakwaan terhadap dua mantan pejabat di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, tidak hanya menguraikan secara detil proses terjadinya skandal yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Surat dakwaan yang disusun secara alternatif itu juga mencantumkan sejumlah nama besar.
Mereka mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pejabat Kementerian hingga beberapa korporasi diduga ikut menerima aliran dana korupsi e-KTP.
(Baca: Siapa Penerima "Fee" Terbesar dari Kasus Korupsi E-KTP?)
Aktor besar
Proyek pengadaan e-KTP terbagi menjadi dua tahap, dimulai dari pembahasan anggaran dan pengadaan barang.
Praktik suap terhadap sejumlah anggota DPR diawali adanya sejumlah pertemuan antara pimpinan Komisi II DPR, pengusaha, dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Salah satu orang yang berperan penting dalam memuluskan korupsi anggaran e-KTP adalah Setya Novanto, yang sekarang menjabat sebagai Ketua DPR RI.
Dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, beberapa kali pembahasan informal soal e-KTP dilakukan di ruang kerja Novanto.
Novanto diduga menjadi pendorong disetujuinya anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun.
Secara spesifik, Novanto mengkoordinasikan seluruh ketua fraksi di DPR untuk menyetujui usulan anggaran e-KTP.
(Baca: Diduga Atur Anggaran, Setya Novanto Tak Masuk Daftar Penerima "Fee" Kasus E-KTP)