JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat mengatakan, MK belum terlalu banyak menerima permohonan terkait sengketa Pilkada Serentak 2017.
Sejauh ini baru ada 12 permohononan.
Menurut Arief, hal ini karena para peserta pilkada sudah belajar dari putusan-putusan yang dikeluarkan MK dalam penyelesaian sengketa Pilkada Serentak 2015.
“Berarti putusan kami pada waktu menangani perkara 2015, putusannya itu kalau hukum menjadi social engineering,” kata Arief, di Gedung MK, Senin (27/2/2017).
Ia menekankan, MK hanya akan menangani sengketa pilkada terkait hasil pemungutan suara.
Secara spesifik, syarat pengajuan permohonan tersebut merujuk pada ketentuan Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
“Kalau tidak memenuhi Pasal 158, maka dia tidak perlu ajukan ke sini,” ujar dia.
Pasal 158 mengatur tentang persentase selisih suara yang menjadi syarat pengajuan permohonan.
Besaran tersebut antara 0,5 persen hingga 2 persen tergantung jumlah penduduk yang memiliki hak pilih di daerah tersebut.
“Kalau itu tidak memenuhi syarat ini, mereka sadar mengajukan ke MK. Itu yang menjadi dasar kita bersama. MK akan selalu konsisten dengan putusannya,” kata Arief.
Lebih jauh, ia menambahkan, perselisihan lain seperti politik uang atau persoalan hukum lainnya, bukan menjadi ranah MK.
“Kalau ada sengketa karena (syarat) pencalonan, bukan perselisihan hasil, itu bukan menjadi ranah mahkamah. Perkara itu seharusnya sudah bisa diselesaikan pada pihak yang berwenang menangani itu,” kata Arief.