JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera merespons rekomendasi pemberhentian sementara terhadap Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Hal ini agar MKMK bisa segera menggelar pemeriksaan lanjutan atau pemeriksaan tahap kedua guna membuktikan pelanggaran etik berat yang dilakukan Patrialis.
"Kami berharap Presiden dapat segera merespons usulan pemberhentian sementara Patrialis Akbar," kata Ketua MKMK Sukma Violetta saat dihubungi, Rabu (8/2/2017).
Menurut Sukma, kasus pelanggaran etik berat Patrialis perlu dituntaskan secepatnya. Dengan begitu, pergantian Patrialis sebagai hakim konstitusi pun dapat segera dilakukan.
Apalagi, waktu pemilihan kepala daerah semakin dekat.
(Baca: Presiden Diminta Segera Bentuk Pansel Hakim Konstitusi untuk Cari Pengganti Patrialis)
Pada Pilkada serentak sebelumnya, MK menerima sekitar 147 permohonan sengketa. Ada kemungkinan jumlah itu tak jauh beda, bahkan membengkak pada tahun ini.
Oleh karena itu, perlu hakim yang lengkap, yakni sembilan orang agar penanganan sengketa pilkada menjadi lebih cepat.
Menurut Sukma, penyelesaian sengketa pilkada bisa saja mengalami kendala jika pengganti Patrialis belum ditetapkan ketika berkas sengketa Pilkada sudah teregistrasi di MK.
"Agar pemeriksaan dugaan pelanggaran berat PA segera tuntas, sehingga dapat dilakukan upaya-upaya selanjutnya (pemeriksaan lanjutan) agar MK siap menghadapi sengketa-sengketa terkait pilkada serentak," kata Sukma.
Sebelumnya, MKMK membenarkan dugaan pelanggaran etik berat yang dilakukan Patrialis Akbar.
Hal itu disampaikan Sukma dalam sidang pembacaan hasil pemeriksaan pendahuluan terkait dugaan pelanggaran etik berat yang dilakukan Patrialis.
(Baca: MKMK Berharap Presiden Segera Berhentikan Sementara Patrialis)
Sidang tersebut yang digelar di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (6/2/2017).
"Kesimpulan Majelis Kehormatan memutuskan Hakim terduga, Patrialis Akbar, benar diduga melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan pedoman hakim konstitusi," ujar Sukma saat itu.