JAKARTA, KOMPAS.com – Dalam sejumlah kesempatan, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyiratkan keinginannya untuk bertemu Presiden Joko Widodo.
Namun, menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang, SBY justru menunjukkan sikap kontradiktif.
Hal itu setidaknya terlihat dalam persoalan terakhir yang mencuat pekan lalu. SBY menduga percakapannya dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma’ruf Amin, disadap alat negara.
Dugaan itu muncul setelah dalam fakta persidangan kasus dugaan penodaan agama, terdakwa Basuki Tjahaja Purnama dan tim kuasa hukumnya mengaku memiliki bukti percakapan tersebut.
"Sebenarnya yang ingin disasar Pak SBY ini keinginan untuk dialognya, atau membuat persepsi ingin dizalimi?" kata Sebastian saat diskusi bertajuk "Bila SBY Minta Bertemu Jokowi: Nunggu Lebaran, Kali!" di Jakarta, Senin (6/2/2017).
Setelah memberikan pernyataan kepada publik, Fraksi Demokrat di DPR mulai menggalang hak angket untuk mengusut dugaan penyadapan tersebut.
Sebastian beranggapan, tindakan yang dilakukan anak buah SBY di parlemen itu justru kontradiktif dengan keinginannya bertemu Jokowi.
"Meskipun dari hitungan politik, gagasan angket itu tidak mudah diwujudkan. Tapi dari sisi strategi ini kontradiktif," ujarnya.
(Baca: Hak Angket Dianggap Kontraproduktif dengan Keinginan SBY Bertemu Jokowi)
Sebagai Presiden, Joko Widodo dinilai mengetahui secara pasti bagaimana mekanisme terbaik apabila ada pihak yang ingin berkomunikasi dengannya.
Menurut Sebastian, komunikasi itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui sambungan telepon.
"Jadi tidak perlu berteriak-teriak di media. Ini menurut saya, reaksi yang ingin dimunculkan (SBY) bertemu atau berdialog (dengan Jokowi). Tapi action-nya justru curhat," kata dia.
(Baca juga: Jika SBY Meminta Bertemu, Jokowi Akan Luangkan Waktu)