JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bagian Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul mengatakan, kepolisian akan meminta keterangan para ahli soal dugaan pidana atas lambang tertentu pada bendera merah putih.
Dalam aksi demo di depan Mabes Polri, Jakarta, Senin (16/1/2017) lalu, ada peserta aksi yang membawa bendera merah putih dengan lambang tertentu.
"Nanti ada ahli, banyak ahlinya. Termasuk pembuat undang-undang soal bendera, bahasa, dan lambang negara," ujar Martinus di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Kamis (13/1/2017).
Dalam UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, diatur soal bendera negara.
Dalam Pasal 4 ayat 1 disebutkan Bendera Negara Sang Merah Putih berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih yang kedua bagiannya berukuran sama.
Dalam Pasal 24 diatur soal larangan terhadap bendera. Salah satunya, dilarang mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara.
"Dalam perspektif Polri, itu suatu tindak pelanggaran," kata Martinus.
Terkait sanksi, dalam Pasal 68 disebutkan bagi setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak lambang negara bisa dipidana maksimal lima tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Selain itu, dalam Pasal 69 disebutkan, bagi seseorang yang sengaja menggunakan lambang negara yang tak sesuai bentuk dan warnanya, membuat lambang untuk pihak tertentu yang menyerupai lambang negara, atau menyalahgunakan lambang negara akan dikenakan pidana penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal Rp 100 juta.
"Jadi tidak bisa sembarangan menulisi, mencoret-coret. Bendera itu kan merupakan lambang negara, merah-putih kecil sekalipun," kata Martinus.
Martinus mengimbau agar masyarakat tidak sembarangan menggunakan bendera merah putih untuk atribut apapun. Apalagi menggunakannya untuk aksi-aksi yang bertentangan dengan norma Pancasila.
Hal tersebut dikhawatirkan membuat masyarakat resah dan memicu masalah baru.
"Jangan sampai kegiatan yang kita lakukan menimbulkan pendapat yang berbeda," kata Martinus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.