JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali tidak setuju terhadap penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai tren vonis perkara korupsi di Indonesia.
Penelitian ICW menyebut bahwa rata-rata vonis terdakwa perkara korupsi sepanjang Januari-Juni 2016 hanya 2 tahun 1 bulan penjara.
Namun, menurut Hatta Ali, bukan berarti vonis terhadap koruptor semakin berkurang.
"Jumlah perkara korupsi semakin meningkat, itu iya. Tapi kalau tren hukumannya turun, saya rasa tidak," ujar Hatta dalam konferensi pers refleksi akhir tahun MA di Ruang Arifin Tumpa, Kompleks MA, Jakarta, Rabu (28/12/2016).
Akan tetapi, Hatta tidak menjelaskan pernyataannya itu secara rinci.
"Baca saja di koran, berapa (perkara) yang dinaikkan hukumannya," ucap dia.
Lagipula, menurut Hatta, vonis perkara korupsi tidak pas jika dilihat berdasarkan tren per periode waktu. Sebab, setiap perkara, materi persidangan hingga pasal dakwaannya sangat berbeda.
Misalnya, dia mencontohkan, vonis seorang terdakwa yang didakwa dengan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi tentu lebih rendah dibandingkan jika seorang terdakwa didakwa dengan Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi.
"Jadi itu semua tergantung pada pasal dakwaan. Lebih tepat kita lihat pasal dakwaannya apa dulu. Tidak bisa main pukul rata begitu. Harus dilihat kasus per kasus," kata Hatta.
Diberitakan, pemantauan ICW sepanjang Januari-Juni 2016, sebagian besar koruptor hanya mendapat hukuman rata-rata 2 tahun 1 bulan penjara.
(Baca: ICW: Ada Kecenderungan Vonis terhadap Koruptor Semakin Ringan)
ICW membagi hukuman kepada koruptor dalam empat kategori, yaitu bebas, ringan (dihukum hingga 4 tahun), sedang (5-10 tahun), dan berat (di atas 10 tahun).
Sepanjang semester pertama 2016, dari 352 perkara korupsi, 275 koruptor dijatuhi vonis ringan. Sisanya, 46 putusan berstatus bebas, 37 putusan sedang, dan hanya 7 vonis masuk klasifikasi berat.