JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Pol Suhardi Alius menilai bahwa kasus terorisme menyisakan masalah lebih besar yang tak terlihat di permukaan.
Karena itu, dibutuhkan undang-undang yang kuat serta komprehensif untuk mengatasi persoalan tersebut secara menyeluruh.
"Karena teroris merupakan persoalan gunung es," ujar Suhardi dalam Seminar Nasional bertema "Preventive Justice dalam Antisipasi Perkembangan Ancaman Terorisme" di Jakarta, Selasa (6/12/2016).
"Yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil, padahal di bawah masih menyimpan persoalan terorisme yang bisa berkembang menjadi aksi teror jika tidak ditangani dengan baik," kata dia.
Suhardi menilai, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum mampu menyelesaikan persoalan yang ada.
Menurut Suhardi, persoalan terorisme saat ini kian bertamabah, ketika kelompok radikal mulai menggunakan dunia maya sebagai tempat untuk menyebarkan paham serta ideologi yang mereka yakini.
Setidaknya, hal itu telah ditunjukkan oleh kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
"Kita lihat bagaimana mereka sebarkan ideologi melalui cyberspace. Mereka bisa merekrut ribuan orang dari seluruh dunia untuk bergabung dengan mereka," ujarnya.
BNPT, kata dia, telah mengajukan sejumlah usulan dalam pembahasan revisi UU Antiterorisme yang kini tengah dibahas di DPR.
Beberapa poin usulan itu di antaranya penambahan masa penangkapan, masa penahanan, serta masa penelitian berkas.
Di samping itu, BNPT juga mengusulkan agar ketika proses persidangan digelar, hal itu dapat dilakukan secara telekonferensi.
Dengan sejumlah poin revisi tersebut, Suhardi berharap, UU Antiterorisme yang ada semakin kuat.
Dengan demikian, aparat penegak hukum dapat mengungkap lebih dalam mengenai modus yang digunakan, jaringan yang dimiliki pelaku, serta senjata yang digunakan dalam beraksi, yang dapat menjadi potensi ancaman pada masa mendatang.
Lebih jauh, ia menambahkan, selain masalah ideologi, terorisme juga timbul lantaran masalah kebudayaan.
Untuk itu, ia mengatakan, perlu adanya pendekatan kebudayaan untuk melakukan deradikalisasi para pelaku atau pihak-pihak yang berpotensi menjadi pelaku.
"(Ancaman yang) tidak tampak adalah para keluarga pelaku tindak pidana terorisme, para mantan pelaku, (serta) simpatisan aktif dan pasif dari kelompok organisasi radikal teroris," kata dia.