JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, Partai Golkar tidak memberikan alasan yang jelas terkait penunjukan kembali Setya Novanto menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
Akibatnya, kata dia, publik akan mudah mencurigai keputusan tersebut.
"Saya melihat sejauh ini yang menonjol adalah keinginan kuat Novanto untuk merengkuh jabatan pimpinan DPR," ujar Lucius melalui pesan singkat, Jumat (25/11/2016).
"Sudah dua kali percobaan come back tersebut diusahakan. Yang pertama gagal karena tak mendapatkan dukungan politik di DPR dan publik luas," kata dia.
Lucius menuturkan, sebagai ketua umum, Novanto memiliki kewenangan penuh untuk mengisi jabatan politik Partai Golkar. Ini termasuk, kursi ketua DPR yang menjadi jatah Partai Golkar.
"Akan tetapi untuk posisi ketua DPR ini, nama Novanto sendiri yang disodor Golkar. Tak bisa tidak, yang terbaca hanya keinginan Novanto. Dengan kekuasaannya di parpol, dia juga mau mengambil alih kursi ketua DPR," ucap Lucius.
(Baca juga: Apa Alasan Golkar Ingin Setya Novanto Kembali Jadi Ketua DPR?)
Meski dengan mudah mendapatkan dukungan dari fraksi di DPR, menurut Lucius, pengambilalihan kursi ketua DPR tidak akan mudah.
Lucius menyebutkan, dukungan publik merupakan faktor penting mengingat publik memegang mandat tertinggi terhadap para wakil rakyat.
Ia menilai Golkar harus memastikan majunya Novanto dapat menjaga kewibawaan partai atau sebaliknya.
"Pengunduran diri yang ia lakukan sebelumnya terjadi karena tekanan publik yang luas. Sekarang ketika dia kembali ke kursi ketua DPR, dia juga harus bisa menjamin publik mau menerimanya," ujar Lucius.
(Baca juga: Jika Jadi Ketua DPR, Kontroversi Kebijakan Novanto Diprediksi Kembali)
Partai Golkar kembali mewacanakan akan mengembalikan kursi ketua DPR RI kepada Setya Novanto. Keputusan tersebut telah diputuskan pada rapat pleno DPP Partai Golkar.
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, keputusan ini diambil dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi terkait kasus "Papa Minta Saham" yang menyeret nama Novanto.
Keputusan MK tersebut dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI yang tidak pernah menjatuhi hukuman untuk Novanto.