JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Fakultas Zainal Arifin Mochtar berpendapat, wacana pergantian Ketua DPR seharusnya juga dikaji berdasarkan aspek etik.
Ia menanggapi keinginan Golkar kembali menempatkan Setya Novanto sebagai Ketua DPR, menggantikan Ade Komarudin.
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait keabsahan rekaman sebagai barang bukti dinilai tidak bisa serta merta berlaku untuk kasus sebelumnya.
Akan tetapi, digunakan untuk perbaikan hukum ke depannya.
"Putusan MK itu berlaku ke depan, berlaku semenjak dibatalkan," ujar Zainal, saat dihubungi, Kamis (24/11/2016).
Selain itu, putusan MK bukan untuk membatalkan putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
"Putusan MK tidak bisa mengatur hal lain. Kalau dianggap bisa mengatur hal lain, hal yang lalu, bagaimana dengan ribuan orang, atau puluhan orang yang diperiksa dengan cara begitu. Yang lain bisa menggugat, misalnya tahun 2011 ada orang dipenjara dengan bukti yang kira-kira mirip, itu bisa digugat loh," kata dia.
Oleh karena itu, menurut dia, jika Partai Golkar menggunakan logika berdasarkan putusan MK untuk tujuan mendapatkan pengakuan bahwa tidak ada problem etik yang dilakukan Setya Novanto, hal itu salah kaprah.
"Putusan MK itu soal keabsahan alat bukti, bahwa alat buktinya tidak benar itu tidak berarti dia tidak bersalah (secara etik)," kata dia.
Rapat pleno DPP Partai Golkar yang memutuskan Novanto kembali menjadi Ketua DPR dilakukan pada Senin (21/11/2016).
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, keputusan ini diambil dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi terkait kasus "Papa Minta Saham" yang menyeret nama Novanto.
Keputusan MK tersebut dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI yang tidak pernah menjatuhi hukuman untuk Novanto.
Adapun, Novanto mundur dari kursi ketua DPR pada Desember 2015 lalu karena tersangkut kasus "Papa Minta Saham".
Ia dituding mencatut nama Jokowi untuk meminta saham kepada PT Freeport Indonesia.