JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia diharap tak reaktif menyikapi terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Terlebih, dalam menyikapi janji Trump yang membawa sentimen negatif ketika kampanye.
Peneliti Syarikat Indonesia, Ananto Sulistyo, menilai sentimen yang dinyatakan Donald Trump hanya sebatas retorika. Belum tentu sentimen negatif itu akan diterapkan.
Sentimen Trump, kata Ananto, hanya digunakan mencari popularitas untuk meningkatkan elektabilitasnya selama pilpres.
"Yang kemarin itu kan tetap bagaimana pun hanya untuk cari massa," ujar Ananto saat diskusi di Kantor Para Syndicate, Jakarta, Jumat (11/11/2016).
Menurut Ananto, kampanye negatif tak hanya dilakukan oleh Trump. Banyak calon pemimpin kerap melakukan kampanye tersebut di seluruh dunia.
"Kalau kampanye bombastis yang negatif kan banyak yang melakukan itu," kata Ananto.
Selain itu, Ananto memprediksi sentimen Trump akan banyak diperdebatkan dalam internal kabinetnya nanti. Sebab, pejabat yang akan duduk dalam kabinet Trump kemungkinan masih didominasi orang-orang konservatif.
"Dia akan berhadapan dengan birokrasinya sendiri dan ada banyak dewan pertimbangan di Amerika," tutur Ananto.
Untuk itu, Ananto berharap pemerintah menunggu satu sampai dua bulan sebelum membuat kebijakan luar negeri menyikapi terpilihnya Trump.
"Saya pikir untuk kebijakan negara masih harus menunggu satu sampai dua bulan menyikapi terpilihnya Trump," kata Ananto.
Trump resmi terpilih sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat usai mengungguli Hillary Clinton.
Kemenangan tersebut menjadikan Trump sebagai orang pertama tanpa pengalaman politik apa pun yang diberi mandat sebagai presiden AS.