JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani meminta Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menjelaskan alasan dilakukannya gelar perkara dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Menurut dia, gelar perkara lazimnya dilakukan setelah kasus masuk tahapan penyidikan.
Ia menanggapi rencana Polri melakukan gelar perkara secara terbuka dalam kasus Ahok.
Arsul mengatakan, merujuk pada ketentuan pada Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Pasal 70 ayat (1) huruf a juncto ayat (2) memang dimungkinkan gelar perkara pada tahap awal penanganan kasus atau penyelidikan.
Kedua, gelar perkara yang dilakukan terbuka sebaiknya terbuka terbatas.
Artinya, kata Arsul, diikuti oleh para pelapor dan wakil-wakil organisasi masyarakat keagamaan yang berada dalam posisi sama seperti pelapor.
(Baca: Gelar Perkara Kasus Ahok Kemungkinan Dilakukan Minggu Ketiga November)
Jika diminta oleh Polri, Komisi III juga bisa hadir dalam gelar perkara.
Namun, karena kasus ini menyedot perhatian masyarakat, maka Kapolri diminta menjelaskan alasannya dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi III DPR.
"(Regulasi) yang tegas menyebut kata "tertutup" atau "terbuka" memang tidak ada, tetapi di Perkap diatur siapa-siapa yang hadir dalam gelar," ujar Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Gelar perkara yang berlangsung terbuka, kata Arsul, justru berpotensi menimbulkan prasangka-prasangka dari publik terhadap penegak hukum dan pihak-pihak yang hadir dalam gelar perkara tersebut.
"Pertimbangannya, apakah nanti tidak menimbulkan prasangka-prasangka baru terhadap TNI/Polri dan peserta gelar perkara," kata dia.