JAKARTA, KOMPAS.com - Direkrut Riset Setara Institute, Ismail Hasani mengatakan, saat ini dalam ruang publik Indonesia terjadi kemunduran serius dalam praktik demokrasi.
Hal itu ditunjukkan pada caci maki yang terjadi terkait pemilihan kepada daerah 2017.
"Kalau saat ini kampanye penyeragaman, lawan dari politik kebhinekaan, maka kita kembali ke 88 tahun lalu saat Sumpah Pemuda belum terjadi," kata Ismail dalam diskusi di Jagakarsa, Jakarta, Jumat (28/10/2016).
Ismail menuturkan, pada Oktober 1928, para pemuda Indonesia berhasil direkatkan dengan naskah Sumpah Pemuda.
Naskah tersebut, kata dia, dibuat tanpa memandang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Menurut Ismail, politik penyeragaman tidak akan memberikan kesempatan pada seseorang atau kelompok yang berbeda.
Metode berpolitik seperti itu, lanjut dia, merupakan metode politik yang primitif.
"Mengutip Mustofa Bisri, kalau tidak sanggup berpolitik, ya tidak usah jadi politisi. Jangan bawa-bawa Tuhan untuk membela," ucap Ismail.
Ismail mengimbau kepada masyarakat untuk merebut kembali ruang publik dari penggunaan isu SARA. Hal itu diperlukan untuk merawat kebhinekaan Indonesia.
"Bangsa ini plural, bhineka, karena itu harus dirawat," ujar Ismail.