JAKARTA, KOMPAS.com - Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Qanun Jinayat meminta pemerintah mengkaji kembali Perda Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Perda tersebut dinilai diskriminatif terhadap perempuan.
Qanun Jinayat mengatur hukuman pidana mencakup hukuman cambuk terhadap perilaku seperti khalwat atau kondisi laki-laki dan perempuan berduaan di tempat sepi; ikhtilath atau mesum; khamar (alkohol); maisir (judi); zina, musahaqqah (menggesek-gesekkan kelamin perempuan), dan liwath (anal seks).
Koordinator Program Solidaritas Perempuan Nisa Yura mengatakan, perda tersebut tak melibatkan perempuan saat proses perancangannya. Kini, qanun jinayat sudah setahun diberlakukan di Aceh.
Pada 2015, kata Nisa, pihaknya mensurvei sebanyak 2.386 perempuan. Di antaranya di Imarah, Leupung, Lhoknga, dan Peukan Bada.
Sebanyak 1.161 perempuan atau 97 persen dari mereka tidak mendapatkan sosialisasi mengenai pembentukan Qanun Jinayat.
"Pemantauan kami di wilayah Aceh, mayoritas perempuan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam pembahasan Qanun," ujar Nisa dalam konfrensi pers 'Refleksi Satu Tahun Pemberlakuan Qanun Jinayat' yang digelar di kantor LBH Jakarta, Minggu (23/10/2016).
Ia melanjutkan, aturan tersebut juga diskriminatif lantaran cenderung menempatkan perempuan sebagai korban.
Namun, perlindungan terhadap perempuan justru sangat minim. (Baca: Satu Tahun Diterapkan, Hukum Pidana Islam Dinilai Belum Cocok untuk Aceh)
"Kasus perkosaan, diminta alat bukti di awal, di mana kecenderungan perempuan sebagai korban. Tapi, pelakunya hanya dengan lima kali sumpah dapat diloloskan," kata dia.
Dalam Pasal 55 disebutkan bahwa: (1) Setiap Orang yang dituduh telah melakukan Pemerkosaan berhak mengajukan pembelaan diri bahwa dia tidak melakukan Pemerkosaan.
(2) Dalam hal alat bukti adalah sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, maka orang yang dituduh dapat membela diri dengan melakukan sumpah pembelaan sebanyak 5 (lima) kali.
(3) Sumpah yang pertama sampai keempat menyatakan bahwa dia tidak melakukan Pemerkosaan dan tuduhan yang ditimpakan kepadanya adalah dusta.
(4) Sumpah yang kelima menyatakan bahwa dia rela menerima laknat Allah, apabila dia berdusta dengan sumpahnya.
Kemudian pada Pasal 56 disebutkan, apabila keduanya melakukan sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, maka keduanya dibebaskan dari ‘Uqubat (sanksi).
Sementara itu, Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Nia Sarifudin meminta pemerintah mengkaji kembali aturan tersebut.
Ia kemudian menyoroti data Monitoring Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menunjukkan, sepanjang 2016 Mahkamah Syariah Aceh telah memutuskan sekitar 221 putusan perkara jinayat.