JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nelson Simanjuntak mengungkapkan, partisipasi masyarakat yang menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum terus menurun.
Bahkan, kata dia, ada satu daerah yang penggunaan hak pilihnya hanya sekitar 20 persen dari total jumlah daftar pemilih tetap.
"Masyarakat apatis pada pemilihan. Malas datang. Mikirnya siapapun yang terpilih sama saja," ujar Nelson dalam diskusi di Jakarta, Rabu (19/10/2016).
(Baca: KPU DKI Targetkan Partisipasi Pemilih 75 Persen pada Pilkada DKI 2017)
Nelson mengatakan, pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara karena punya "jagoan" untuk dipilih, hanya sebagian kecil.
Sisanya merupakan kerabat atau loyalis calon tertentu. "Yang memilih hanya yang punya emosional dengan calon atau timses. Atau diberikan uang transportasi," kata Nelson.
Menurut Nelson, tidak sedikit pemilih yang tergerak menggunakan hak suaranya setelah diberikan uang oleh calon tertentu.
Nelson menambahkan, kondisi ini membuat pemilihan umum menjadi tak berkualitas. Oleh karena itu, Bawaslu, sebagai bagian dari penyelenggara pemilu, terus berupaya untuk membenahi kondisi ini.
(Baca: KPU: Partisipasi Pemilih pada Pilkada Serentak Mencapai 70 Persen)
Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani menilai, partisipasi pemilih lebih disebabkan faktor kewajiban untuk memberikan suara.
Namun, pemilih yang berlandaskan ideologi dan substansi pemilu, masih rendah. Masyarakat masih menilai kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon hanya sekadar "menjual" program, bukan menyerap aspirasi.
"Ini membuat kampanye tidak menarik bagi orang yang pendidikan tinggi karena hanya sekadar jargon semata," kata Sri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.