JAKARTA, KOMPAS - Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pilkada dengan calon tunggal tetap bisa digelar, hal itu dinilai menjadi solusi karena pilkada tak harus tertunda hingga dua tahun. Namun, pada pilkada 2017, beberapa petahana memanfaatkan aturan itu untuk melenggang bebas tanpa lawan berarti.
Sejumlah petahana memborong kursi partai politik agar tak ada lawan dalam pilkada. Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada tujuh daerah yang hanya punya satu pasangan calon tunggal, sedangkan daerah yang punya dua pasangan calon 30 daerah.
Empat dari tujuh daerah itu tak bisa mengakomodasi tambahan pasangan calon karena kursi tersisa tak cukup. Sementara tiga daerah masih memungkinkan memunculkan satu pasangan calon.
Dari hasil olah data Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, petahana Gabriel Asem menggandeng swasta Mesak Metusala didukung 19 kursi dari total 20 kursi DPRD. Di Tulang Bawang Barat, duet petahana Umar Ahmad dan Fauzi Hasan menyapu bersih dukungan partai dengan mengantongi 30 kursi DPRD.
Di Landak, putri Gubernur Kalimantan Barat, Karolin Margret Natasa, menggandeng petahana Herculanus Heriadi merebut 34 dari 35 kursi DPRD. Sementara di Pati, petahana Haryanto dan swasta Saiful Arifin merebut 46 dari 50 kursi DPRD.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur, untuk maju dari jalur partai politik, calon kepala daerah minimal didukung 20 persen kursi DPRD atau 25 persen raihan suara pemilu.
Selain empat daerah itu, di Musi Banyuasin, Dodi Reza Alex Noerdin, putra Gubernur Sumatera Selatan, menggandeng petahana Beni Hernedi mendapat dukungan 11 partai politik dengan 9 di antaranya memiliki kursi di DPRD.
Di Kota Sorong, duet petahana Lamberthus Jitmau dan Pahima Iskandar memborong 27 dari 30 kursi DPRD. Di kedua daerah ini, mereka akan menghadapi kompetitor dari jalur perseorangan. Namun, ada kemungkinan mereka melenggang menjadi calon kepala daerah tunggal jika calon perseorangan tersebut tidak memenuhi syarat.
Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, di Jakarta, Selasa (27/9), menuturkan, hal semacam itu sudah sempat muncul dalam bayangan KPU menjelang revisi UU Pilkada. Saat itu, KPU mengusulkan agar calon tunggal dicegah dengan cara membuka keran calon perseorangan.
"Kami tidak bisa sepenuhnya mengontrol itu karena harus kembali pada itikad para politisi. Kami pernah usulkan mempermudah perseorangan, tetapi ternyata enggak mudah juga," kata Hadar.
KPU mengusulkan menurunkan persentase dukungan dari saat ini berkisar 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap pemilihan sebelumnya dikembalikan ke posisi 3-6,5 persen. "Sekarang kami hanya buka peluang bongkar koalisi dengan membuka lagi pendaftaran," katanya.
Pada pilkada 2015, Kabupaten Blitar, Tasikmalaya, dan Timor Tengah Utara terancam mengalami penundaan pilkada hingga gelombang kedua pada 2017 karena kendati sudah ada pembukaan pendaftaran kembali, tak ada tambahan pasangan calon. Padahal, konstruksi UU No 8/2015 tentang Pilkada mensyaratkan minimal dua pasangan calon kepala daerah.
Setelah MK pada September 2015 memutuskan bahwa pilkada dengan satu pasangan calon tetap bisa diteruskan dengan calon melawan kotak kosong, hal itu kemudian diadopsi dalam revisi UU No 8/2015 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No 10/2016 tentang Pilkada. Namun, aturan itu tidak dikunci dengan aturan untuk memaksa partai politik mengusung calon.
Sempat muncul beberapa gagasan dari masyarakat sipil dan pemerintah. Semisal, ada pasal yang mengatur soal batas maksimal dukungan partai politik bagi satu pasangan calon. Selain itu, juga ada usulan agar partai yang tidak mengusung calon dihukum tidak boleh mencalonkan pada pemilihan berikutnya.
Mengamankan posisi