JAKARTA, KOMPAS - Syarat baru bagi calon pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap, tetapi harus memiliki kartu tanda penduduk elektronik atau surat keterangan dari dinas kependudukan dan catatan sipil setempat untuk bisa ikut dalam pemilihan kepala daerah serentak, berpotensi memicu konflik.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz, Selasa (6/9/2016), di Jakarta, mengatakan, ketidakpuasan calon pemilih dapat memicu kemarahan warga pada pilkada.
"Ini terutama bagi mereka yang tinggal di pedalaman, jauh dari kantor dinas sehingga menyulitkan mereka mengurus surat keterangan dari dinas. Sementara e-KTP pun tak kunjung diterima, sekalipun mereka sudah merekam data," katanya.
Masalah ini bisa bertambah rumit jika mereka yang tak terdaftar merupakan pendukung calon kepala/wakil kepala daerah.
"Mereka bisa marah karena calonnya kalah akibat tak bisa memilih. Apalagi jika selisih suaranya tipis. Bisa pula calon yang kalah memanfaatkan kemarahan warga untuk melampiaskan ke penyelenggara pilkada," tambah Masykurudin.
Komisioner KPU, Hadar Navis Gumay, menyatakan hal senada. Menurut dia, syarat baru itu berpotensi membuat KPU di 101 daerah salah siapkan jumlah surat suara yang dibutuhkan saat pemungutan.
Padahal, jumlah calon pemilih di daftar pemilih jadi dasar KPU menentukan jumlah surat suara. Sementara proses memutakhirkan daftar pemilih dimulai pada 8 September dan kesempatan terakhir calon pemilih masuk daftar pemilih pada 19 November 2016.
"Saya khawatir, hingga batas waktu, jutaan warga di daerah yang menggelar pilkada belum juga punya e-KTP dan mendapat surat keterangan dari dinas kependudukan. Kemudian jutaan warga itu baru mengurusnya mendekati hari pemungutan. Akibatnya, surat suara yang disiapkan KPU kemungkinan kurang. Jika surat suara tak tersedia, sekalipun warganya punya e-KTP dan surat dari dinas, mereka tetap tak bisa memilih," ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, 5,2 juta calon pemilih belum melakukan perekaman data kependudukan sebagai syarat memperoleh e-KTP. Bahkan, 2,4 juta pemilih pemula berpotensi belum punya e-KTP.
Untuk mempercepat proses merekam data, Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri terus membenahi layanan e-KTP. (APA/INA/ACI/MDN)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2016, di halaman 2 dengan judul "Syarat Memiliki E-KTP Dapat Memicu Konflik".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.