JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, enggan bersikap terkait nasib proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Proyek tersebut sebelumnya dihentikan sementara ketika Menko Kemaritiman masih dijabat Rizal Ramli.
Menurut Luhut, dirinya ingin mendengarkan terlebih dahulu kajian yang dilakukan oleh tim yang sebelumnya telah dibentuk untuk mengkaji pelaksanaan proyek tersebut. Kajian itu melibatkan tim yang berasal dari akademisi Institut Teknologi Bandung.
"Saya belum berani komentar itu karena saya tunggu dulu, masih dipelajari. Mungkin dalam minggu ke depan baru akan saya bisa berikan,” kata Luhut di Kantor Wapres, Kamis (4/8/2016).
Luhut menambahkan, dirinya ingin mengetahui seluruh aspek yang menyebabkan proyek itu dihentikan sementara.
"Jadi nanti enggak pakai katanya. Biar nanti diomong aspek legal bagaimana, aspek bisnis bagaimana, dan aspek teknis bagaimana. Jangan sampai bicara katanya-katanya," ujar Luhut.
Dalam rapat antara Menko Maritim sebelumnya, Rizal Ramli, dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, disepakati jika pelaksanaan proyek reklamasi Teluk Jakarta dimoratorium.
"Kami meminta, untuk sementara, kami hentikan sementara, moratorium, pembangunan reklamasi di Teluk Jakarta, sampai semua persyaratan perundang-undangan dipenuhi," kata Rizal di kantornya, Senin (18/4/2016).
(Baca: Pemerintah Sepakat Hentikan Sementara Reklamasi di Teluk Jakarta)
Setelah penghentian sementara, langkah selanjutnya adalah membentuk joint committee yang melibatkan pejabat-pejabat dari Sekretariat Kabinet, Kemenko Kemaritiman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Menurut Rizal, pembentukan joint committee bertujuan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang saat ini terjadi dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Rizal mengakui, banyak peraturan yang tumpang tindih dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta. Namun, ia menekankan, peraturan yang menjadi acuan adalah peraturan terbaru sesuai hierarki yang berlaku di Indonesia.
"Undang-undang lebih tinggi hierarkinya dari kepres ataupun perpres. Peraturan yang lama tentu dikalahkan undang-undang yang baru, kecuali ada pasal-pasal pengecualiannya," ucap Rizal.