BOGOR, KOMPAS.com - Mantan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) As'ad Said Ali menyatakan sejak awal NU telah memerangi intoleransi dan radikalisme lewat dakwah kultural.
"Itu bisa dilihat dari sepak terjang kami selama ini, lewat seluruh struktur organisasi kami dari pusat hingga daerah yang konsisten mempromosikan Islam ramah yang berakulturasi dengan budaya setempat," kata As'ad dalam sebuah diskusi di Rancamaya, Bogor, Senin (1/8/2016).
Dia pun mengatakan sejatinya intoleransi dan radikalisme telah lebih dulu muncul di era Orde Lama dan Orde Baru. Hanya, As'ad menuturkan, saat itu intoleransi dan radikalisme ditekan kemunculannya melalui kebijakan politik.
"Kalau kita lihat, Negara Islam Indonesia (NII) di era Bung Karno dihentikan dengan larangan dalam undang-undang (UU). Dan kelompok Islam lainnya ditekan oleh azas tunggal Pancasila di era Orde Baru," tutur As'ad.
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu menilai di era reformasi perlawanan terhadap intoleransi dan radikalisme tak bisa menggunakan perangkat UU secara masif seperti dulu. Sebabnya era reformasi secara tak langsung memberi ruang kelompok radikal dan intoleran untuk bersuara.
"Karena itu untuk zaman sekarang intoleransi dan radikalisme lebih cocok diperangi lewat budaya sebagai bentuk kontra narasi," lanjut As'ad.
Sebelumnya dalam survei yang digelar Wahid Foundation memperlihatkan Indonesia masih rentan sikap intoleran dan radikal.
(Baca: RI Masih Rentan Intoleransi, Wahid Foundation Sampaikan Enam Rekomendasi)
Sebanyak 59,9 persen dari 1.520 responden, memiliki kelompok yang dibenci. Kelompok yang dibenci meliputi mereka yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok tionghoa, komunis, dan lainnya.
Dari jumlah 59,9 persen itu, sebanyak 92,2 persen tak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia.
Sebanyak 82,4 persennya bahkan tak rela anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.
Dari sisi radikalisme sebanyak 72 persen umat Islam Indonesia menolak untuk berbuat radikal seperti melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain atau melakukan sweeping tempat yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam.
Dan hanya sebanyak 7,7 persen yang bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan dan sebanyak 0,4 persen justru pernah melakukan tindakan radikal.
Survei melibatkan 1.520 responden yang tersebar di 34 provinsi. Responden adalah umat Islam berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah. Survei yang digelar dari 30 Maret sampai 9 April 2006 itu menggunakan metode random sampling dengan margin error sebesar 2,6 persen dan tingkat keyakinan 95 persen.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.