JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Senior Para Syndicate, Toto Sugiarto, menilai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga perlu penguatan berupa kemampuan intelijen.
Hal tersebut dinilainya penting agar Bawaslu bisa mengendus praktik-praktik "sewa perahu" yang banyak terjadi jelang penyelenggaraan Pilkada.
Adapun istilah "sewa perahu" digunakan untuk menyebutkan sejumlah biaya yang disetorkan oleh calon kepala daerah kepada partai politik untuk mengusungnya menjadi calon dari partai tersebut.
"Apakah Bawaslu mampu menjadi intelijen untuk benar-benar tahu adanya transaksi sewa perahu itu? Selama ini kan tidak pernah terjadi," tutur Toto di Kantor Para Syndicate, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (3/6/2016).
"Bawaslu tidak punya kekuatan seperti itu karena Bawaslu tidak pernah punya kekuatan intelijen," kata dia.
Jangan kan untuk mendeteksi adanya praktik sewa perahu, lanjut Toto, kewenangan Bawaslu cenderung tidak jelas dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang baru saja disahkan DPR, Kamis (2/6/2016) kemarin.
Dalam UU tersebut, Bawaslu mendapat sejumlah penguatan. Salah satunya adalah bisa memberi sanksi administratif berupa diskualifikasi pencalonan.
Namun, di sisi lain, politik uang seolah dilegalkan dalam aturan tersebut.
Aturan tersebut tercantum dalam Pasal 73 Bab Penjelasan yang bahwa yang tidak termasuk "memberikan uang atau materi lainnya" meliputi pemberian biaya makan dan minum peserta kampanye, biaya transpor peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan KPU".