JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, ancaman hukuman yang bertujuan memberikan efek jera tak cukup untuk menekan tindak kejahatan seksual.
Ia menanggapi dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak oleh pemerintah.
Menurut Supriyadi, perppu seharusnya memperkuat aspek rehabilitasi, baik bagi korban maupun pelaku.
"Daripada cuma bermain dengan mantera-mantera efek jera harusnya perkuat aspek rehabilitasi bagi korban dan pelaku, itu lebih mendesak," ujar Supriyadi, yang biasa disapa Supi, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (25/5/2016).
Ia menyebutkan, di banyak negara yang menerapkan hukuman kebiri, tingkat kejahatan seksual tidak menurun.
Berdasarkan data ICJR, beberapa negara yang menerapkan hukuman kebiri adalah Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Swedia.
World Rape Statistic 2012 menunjukkan, 10 negara yang memiliki kasus perkosaan tertinggi di dunia, berturut-turut adalah Amerika, Afrika, Swedia, India, Inggris, Jerman, Perancis, Kanada, Sri Lanka, dan Ethiopia.
Sedangkan World Rape Statistic 2014 menunjukkan 10 besar negara dengan kasus perkosaan tertinggi, berturut-turut adalah India, Spanyol, Israel, Amerika, Swedia, Belgia, Argentina , Jerman, dan Selandia Baru.
"Coba dilihat, negara-negara yang menerapkan hukuman kebiri atas tindak kejahatan seksual seperti Amerika Serikat, Inggris, Swedia, dan Jerman nyatanya tidak keluar dari zona 10 besar negara dengan tindak kejahatan seksual tertinggi," kata Supi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu ini turut mengatur hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
"Perppu ini untuk mengatasi kegentingan yang diakibatkan kekerasan seksual terhadap anak yang semakin meningkat signifikan," kata Jokowi dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Rabu (25/5/2016).
Jokowi mengatakan, kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa karena mengancam dan membahayakan jiwa serta tumbuh kembang anak.
Kejahatan tersebut juga mengganggu rasa kenyamanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat.
"Kejahatan luar biasa butuh penanganan luar biasa," ujar Jokowi.
Sanksi yang diatur berupa kebiri secara kimiawi serta pemasangan alat deteksi elektronik sehingga pergerakan pelaku bisa dideteksi setelah keluar dari penjara.
Hukuman juga diperberat menjadi hukuman mati, hukuman seumur hidup, maksimal 20 tahun dan minimal 10 tahun penjara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.