JAKARTA, KOMPAS.com - Negara masih memiliki utang kepada masyarakat adat dari pelepasan hutan negara menjadi hutan adat. Pasalnya, selama tiga tahun putusan Mahkamah Konstitusi (MK), belum ada satupun hutan negara yang dibebaskan secara hukum dan administrasi menjadi hutan adat.
Seketaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan, pasca tiga tahun putusan MK, belum satupun hutan negara yang dinyatakan menjadi hutan adat (hutan hak).
Padahal, negara berkewajiban secara administasi melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuat pernyataan resmi yang ditandatangani.
"Saya tidak tahu, kami sudah bantu Perdanya, pengukuhan sudah, verifikasi juga sudah. Hanya butuh cap menteri saja secara administrasi," kata Abdon.
(Baca: Putusan MK soal Hutan Adat Tak Terlaksana...)
Menurut dia, tidak ada kemauan politik dari pemerintah menjadi salah satu faktor lambatnya pembebasan hutan adat. Padahal, putusan MK menyatakan bahwa negara telah melakukan pengabaian terhadap masyarakat adat.
"Hal itu dilakukan selama 70 tahun dan sampai saat ini tidak ada permintaan maaf dari pemerintah. Kami meminta pemerintah untuk melaksanakan amanat MK, kami perlu bukti," kata dia.
Ia mengatakan, sampai saat ini, terdapat empat daerah yang telah memiliki Perda untuk percepatan pelepasan status hutan negara menjadi hutan adat. Tiga daerah diantaranya ialah Kabupaten Bulukumba, Selawesi Selatan; Kabupaten Lebak, Banten; dan Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.
(Baca: Jokowi Diharapkan Bisa Kembalikan Hutan Adat kepada Warga Papua)
"Perda kan sebagai pengakuan pemerintah bahwa masyarakat adat itu bagian dari Indonesia. Termasuk memberikan nota dinas atas pembebasan hutan, harusnya tahun ini tapi proses belum jelas sampai saat ini," kata dia.
Menurut dia, putusan MK membuat masyarakat adat merasa percaya diri dan menyambut positif karena telah diakui menjadi bagian Indonesia. Namun, jika hak-hak masyarakat adat terbatasi, maka ditakuti akan ada gesekan di lapangan.
"Kami berikan warning saja, kalau ini terlalu lama diabaikan lebih banyak rugi dibandingkan untung bagi siapapun, termasuk kooperasi," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.