JAKARTA, KOMPAS.com - Reza Muharam dari International People's Tribunal on 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia (IPT 1965) menilai ada aksi pembiaran oleh aparat kepolisian dalam peristiwa aksi penyerangan dan pembubaran pertemuan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP) oleh kelompok intoleran.
Buktinya, kata Reza, aparat yang berjaga di sekitar wisma tempat pertemuan tidak melakukan apa-ap dan cenderung memenuhi tuntutan kelompok Intoleran.
Reza mengatakan, bahwa Menkopolhukam Luhut Panjaitan seharusnya dapat merealisasikan janjinya dalam menjamin tidak ada lagi pembubaran paksa yang dilakukan oleh kelompok tertentu.
"Menkopolhukam terlihat tidak serius dalam memberikan jaminan kepada penyintas peristiwa kekerasan 1965," ujar Reza saat memberikan keterangan di kantor LBH Jakarta, Jumat (15/4/2016).
(Baca: Ini Kronologi Pembubaran Lokakarya Penyintas Kekerasan 1965)
Lebih lanjut, ia menjelaskan, pertemuan yang digagas oleh YPKP 1965 tersebut bertujuan untuk membahas informasi dan undangan yang mereka terima dari penyelenggara simposium nasional "Membedah Tragedi 1965".
Simposium tersebut diprakarsai oleh oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM, Forum Solidaritas Anak Bangsa (FSAB) dan didukung oleh Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan.
Rencananya, Simposium Nasional dirancang sebagai dialog awal antara pemerintah dan korban untuk merumuskan pokok pikiran menuju rekonsiliasi nasional.
Dengan adanya aksi pembubaran, ia melihat masih ada bentuk intimidasi, diskriminasi, dan aksi teror untuk menciptakan rasa takut. Intimidari itu diduga untuk menggagalkan upaya pengungkapam kebenaran dan penuntutan hak reparasi serta rehabilitasi yang menjadi hak korban.
"Padahal bagian paling penting dari pemecahan masalah pelanggaran HAM adalah pengungkapan kebenaran tentang motif politik di balik pelanggaran berat HAM," ungkap Reza.
Kronologi pembubaran acara YPKP
Sebelumnya, Bejo Untung dari YPKP 1965 menceritakan kronologi peristiwa pembubaran tersebut.
Menurut penuturannya, satu hari sebelum kegiatan lokakarya, dirinya sudah memberikan surat pemberitahuan ke ketua RT, RW, Kapolsek Pacet, dan Kapolres Cianjur.
Pihak kepolisian pun, kata Bejo, sudah menyatakan tidak keberatan dengan kegiatan tersebut. Namun, pada kamis pagi, Bejo mendapatkan informasi sudah banyak berkeliaran tentara dan polisi dalam rangka mengamankan polisi.
Semakin malam, semakin banyak massa yang mendatangi wisma. Sehingga, pihak wisma pun memutuskan menghentikan kegiatan itu karena merasa tertekan dengan kelompok ormas tertentu.
Akhirnya, YPKP memutuskan untuk pindah ke LBH Jakarta. Ada sekitar 81 orang penyintas peristiwa kekerasan 1965 yang diungsikan. Semuanya sudah berumur di atas 60 tahun.
Mereka berasal dari beberapa daerah seperti Pare-Pare, Sumatera Utara, Sumatera dan Balikpapan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.