JAKARTA, KOMPAS.com — CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo memenuhi panggilan penyidik Kejaksaan Agung untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi dalam restitusi pajak PT Mobile 8, Senin (11/4/2016).
Hary Tanoe yang mengenakan kemeja putih tiba di Gedung Jampidsus Kejaksaan Agung, sekitar pukul 13.15 WIB. Ia didampingi oleh kuasa hukumnya, Hotman Paris Hutapea.
"Iya, hari ini saya datang sebagai saksi. Saya datang untuk memberikan kesaksian," ujar Hary Tanoe sesaat sebelum memasuki Gedung Jampidsus.
Hary Tanoe akan diperiksa untuk kali kedua oleh Kejaksaan Agung. Sebelumnya, pemeriksaan dilakukan pada 17 Maret 2016.
Namun, dari sejumlah pertanyaan yang diajukan, Hary lebih banyak menjawab lupa dan tidak tahu.
Oleh karena itu, untuk pemeriksaan hari ini, penyidik ingin mengonfirmasi kesaksian dari Direktur Utama PT Mobile 8, Hidayat, mengenai instruksi pencairan uang.
(Baca: Ada Instruksi Pencairan Uang dalam Kasus Mobile 8, Hary Tanoe Akan Dipanggil Kejagung)
"Ada beberapa instruksi, laporan, dari HT kepada Hidayat. Instruksi terkait pencairan uang dan pendistribusian uang," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah.
Kejaksaan Agung menemukan transaksi fiktif yang dilakukan dengan PT Jaya Nusantara pada rentang 2007-2009. (Baca: Hary Tanoe: Saya Pastikan Tidak Akan Jadi Tersangka Mobile 8)
Pada periode 2007-2009 yang lalu, PT Mobile 8 melakukan pengadaan ponsel berikut pulsa dengan nilai transaksi Rp 80 miliar. PT Djaya Nusantara Komunikasi ditunjuk sebagai distributor pengadaan.
Ternyata, PT Djaya Nusantara Komunikasi dianggap tak mampu membeli barang dalam jumlah itu. (Baca: Hary Tanoe Tantang Kejaksaan Agung Buktikan Kesalahannya dalam Kasus Mobile 8)
Akhirnya, kejaksaan menilai, transaksi direkayasa, seolah-olah ada perdagangan dengan membuatkan invoice sebagai faktur.
Pada pertengahan 2008, PT Djaya Nusantara Komunikasi menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 dengan total nilai sekitar Rp 114 miliar. Faktur pajak itu diterbitkan agar seolah-olah transaksi terjadi di antara dua perusahaan.
Faktur pajak itu kemudian digunakan PT Mobile 8 untuk mengajukan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada negara melalui kantor pelayanan pajak (KPP) di Surabaya agar perusahaannya masuk bursa Jakarta pada 2009.
PT Mobile 8 akhirnya menerima pembayaran restitusi meski tidak berhak karena tidak ada transaksi. Akibatnya, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp 10 miliar.