JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Miko Ginting, mengatakan bahwa penanganan terduga teroris Siyono oleh Densus 88 dilakukan di luar koridor hukum pidana.
Menurut Miko, seharusnya upaya penangkapan, penggeledahan dan penyitaan tidak bisa dilakukan. Sebab, status Siyono pada saat itu baru terduga teroris.
Terorisme, kata Miko, termasuk dalam kategori tindak pidana jika berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Karena itu, penanganannya harus berdasarkan pada koridor hukum acara pidana. Selain itu ia juga menjelaskan bahwa status terduga tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun instrumen pidana lainnya.
"Siyono belum tersangka. Bila statusnya terduga, tidak boleh ada upaya paksa," ujar Miko di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (1/4/2016).
"Kalau statusnya sudah tersangka baru boleh dilakukan upaya paksa berupa penangkapan dan penggeledahan," kata dia.
Lebih lanjut ia menegaskan, kasus kematian Siyono harus jadi pemicu bagi Pemerintah dan pihak Kepolisian untuk mengevaluasi penanganan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Densus 88.
Pemeriksaan internal yang dilakukan oleh kepolisian pun dinilai tidak cukup untuk menperbaiki sistem penanganan tindak pidana terorisme.
"Evaluasi harus dilakukan terhadap Densus. Pemeriksaan internal tidak cukup, karena penyiksaan adalah tindak pidana," ucapnya.
Miko menuturkan, peristiwa yang menimpa Siyono menambah panjang deretan kasus pemeriksaan oleh aparat yang menyebabkan kematian.
"Siyono menjadi orang ke 121 yang dikenakan status terduga teroris, namun tewas sebelum proses pengadilan," kata Miko, mengutip data Komnas Hak Asasi Manusia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.