Sekalipun kita memperluas lensa pengamatan hingga mencakup 43.000 orang Indonesia dengan aset keuangan lancar sekitar 1 juta dollar AS, hasilnya masih menunjukkan konsentrasi sumber daya kekuasaan material sangat besar tetap di tangan segelintir orang.
Lalu, apa korelasi antara ketimpangan ekonomi tersebut dengan meningkatnya intoleransi di Indonesia?
Ketimpangan ekonomi yang kian menganga menandakan berlipatnya jumlah penduduk yang tersingkirkan dari perputaran sebagian besar kue ekonomi. Hal itu rawan memicu kekecewaan-kekecewaan dan frustasi sosial-ekonomi masyarakat.
Pada saat yang bersamaan, reformasi menghadirkan kebebasan dari kekangan rezim otoritarian, termasuk terbebasnya simpul-simpul identitas yang dulu tertindas.
Sen mengatakan, dalam frustasi sosial ekonomi, identitas menjadi begitu penting sebagai tempat persembunyian yang nyaman.
Tak sedikit di antara mereka yang kecewa dan tersingkir tersebut bergabung dengan kelompok-kelompok atau organisasi keagamaan yang juga tumbuh subur pada era reformasi ini, yang dalam prakteknya kerapkali mereka menginterpretasikan identitas keagamaan yang fundamentalis.
Fundamentalisme relijius ini, menurut Sen, merupakan konstruksi identitas di bawah identifikasi perilaku individu dan lembaga-lembaga sosial kepada aturan yang diturunkan Tuhan, diinterpretasikan oleh otoritas keagamaan yang menjadi perantara hubungan Tuhan dengan manusia.
Inilah yang membuahkan terjadinya reduksi dunia sebagai federasi agama yang memicu konflik berbasis afilias tunggal keagamaan.
Dalam satu dekade terakhir, kita melihat sepak terjang organisasi keagamaan yang fundamentalis dan bahkan cenderung ekstrimis dalam menjalankan aktivitasnya. Mulai dari merazia tempat prostitusi, pub, café, hingga menutup rumah-rumah ibadah milik kelompok minoritas.
Mereka bergerak laksana preman-preman dengan menggunakan medium kekerasan. Merekrut orang-orang miskin hingga kelas menengah perkotaan yang tersingkir dari persaingan ekonomi yang kian tak menguntungkan wong cilik.
Tak sedikit di antara mereka adalah orang-orang yang tersingkir dari tanah-tanah milik orangtua atau kakek-nenek mereka yang telah berubah menjadi mal, perumahan mewah, maupun deretan ruko-ruko milik orang kaya.
Situasi psikologis yang penuh tekanan dan perasaan frustasi karena ketersingkiran tersebut memudahkan perekrutan. Terlebih dengan penggunaan simbol-simbol keagamaan.