Sengkarut ekonomi-politik
Namun, problem toleransi tak melulu mengenai persoalan identitas. Di dalamnya juga terdapat silang sengkarut problem ekonomi politik yang dalam perkembangannya menyemai dan memberi tempat bagi bertumbuhya gerakan-gerakan fundamentalisme.
Selain ditandai tumbuhnya demokrasi, Era Reformasi juga diwarnai dengan ledakan jumlah kelas menengah di Indonesia ke dalam angka yang signifikan.
Dalam bukunya berjudul In Search of Middle Indonesia, Profesor Ilmu Politik dari Universitas Amsterdam, Gerry van Klinken menyebutkan, kelas menengah Indonesia yang pada tahun 1995 hanya tercatat 10 persen dari populasi, berkembang menjadi 45 persen pada tahun 2009.
Selain karena pertumbuhan ekonomi, peningkatan kelas menengah tersebut juga dipicu oleh kebebasan politik yang tumbuh seiring demokratisasi.
Namun di tengah ledakan jumlah kelas menengah tersebut, Indonesia juga mengalami problem akut dalam pemerataan ekonomi, yaitu membengkaknya ketimpangan kaya dan miskin.
Hal ini tercermin dari rasio gini di negeri ini yang berdasarkan kajian Bank Dunia pada tahun 2014 lalu menunjukkan kenaikan pesat, dari 23 pada tahun 2003 menjadi 41 pada tahun 2014.
Pada tahun 2015, Bank Dunia juga mencatat, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 77 kekayaan negara, dan 1 persen orang terkaya menguasai 50 persen kekayaan negara. Pada tahun 2007, 10 persen orang terkaya menguasai 70 persen kekayaan negara.
Hal ini menandakan adanya lonjakan ketimpangan ekonomi dalam tujuh tahun terakhir di Indonesia. Dengan angka distribusi kekayaan negara tersebut, Indonesia tercatat sebagai negara dengan ketimpangan penguasaan kekayaan negara paling tinggi kedua di dunia setelah Rusia.
Dalam bukunya berjudul Oligarki, pakar ekonomi politik dari Universitas Northwestern, Jeffrey Winters menyebutkan, pada tahun 2010, rata-rata kekayaan bersih 40 oligark terkaya di Indonesia lebih dari 630.000 kali lipat produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia (di Thailand dan Korea Selatan kesenjangannya hanya 190.000 dan 69.000).
Meskipun kaum oligark itu kurang dari 2 per 1.000.000 jumlah penduduk, gabungan aset mereka setara dengan 10 persen PDB (Jeffrey Winters, 2014).